Minggu, 12 Februari 2012

Short Story: Kopi, Cookie, Garam, dan Merica

Kopi, Cookie, Garam, dan Merica
Oleh: Rima Muryantina


Merica dan garam sudah tercampur di kopi yang kusiapkan untuk Si Boss Besar. Si Boss Besar yang sudah kulayani selama 5 tahun terakhir. Tiga potong cookie kesukaanna kusematkan di dekat cangkir berisi kopi berisi garam dan merica itu, hanya supaya dia dapat meredakan rasa garam dan rasa asin yang tak tertahankan.

Aku telah mengenalnya sejak aku baru saja menapak jejak di alam bebas setelah bertahun-tahun menempa ilmu; eh, tidak juga, sih; maksudku, menempa formalitas-formalitas di berbagai institusi pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Pada saat itu, mataku masih terlalu lugu untuk melihat dan memahami bagaimana pahit manisnya dunia kerja. Pada saat itu, aku masih melihat dunia ini dapat dilihat dari sudut pandang benar-salah yang ditawarkan buku-buku pelajaran dan buku-buku kuliah. Bukan berarti para peneliti, para pengajar, dan para penulis buku itu salah. Hanya saja, untuk mengenali kebenaran dan kesalahan itu terasa lebih sulit di dunia nyata karena kompleksitas kepentingan-kepentingan dan alur hidup manusia yang tidak mudah ditebak.

Pada saat itulah aku bertemu dengan Si Boss Besar yang sejak saat itu selalu kusediakan kopi setiap paginya. Itu memang tidak tertulis di job description-ku sebagai sekretaris, tapi saat itu, sebagai sekretaris junior dari sebuah perusahaan besar, itulah pekerjaan pertama yang dititahkan padaku oleh pengawasku, sang sekretaris senior. Sekarang, ketika aku sudah menjadi sekretaris senior, aku masih melakukannya. Bukan karena aku suka dengan pekerjaan yang remeh-remeh, tapi karena Si Boss percaya bahwa kopi adukankulah yang paling memenuhi selera cita rasa tingginya sebagai pecinta kopi. Dan tentunya, karena aku selalu tahu jenis cookie apa yang dia sukai, dan tahu bagaimana meletakkan cookie tersebut dengan posisi seelegan mungkin sehingga Si Boss merasa seperti dilayani di hotel-hotel bintang lima yang berkelas. Setidaknya, dia berimajinasi seperti itu.

Pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar memang cukup berharga diri bila kita melihat jumlah gaji yang tersedia (bahkan di tahap awal pun jumlahnya sudah menggiurkan) dan tentunya bila dilihat dari sisi lokasi (siapa yang tidak mau bekerja di kawasan Sudirman?).

Tidak, mulanya aku tidak membenci Si Boss Besar. Dia hanya seperti boss-boss biasa yang terlihat rapi, rupawan, wangi, bersih, dan tentunya terlihat “kaya” serta berwibawa dan pintar. Kadang dia terdengar menyebalkan karena mencampur bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di hampir setiap kalimat yang dia ucapkan. Namun hal ini tidak apa-apa, karena demikianlah cara berbicara semua orang berjabatan tinggi yang kantornya berlokasi di SCBD.

Dia tidak pernah telat memberiku gaji, tunjangan, dan hak-hakku yang lain. Kadang dia memarahi bawahannya, tapi masih dalam kaidah-kaidah profesionalisme. Aku sendiri kenal ayahku sebagai pemimpin yang paling galak dan paling pemarah baik di rumah maupun di kantor, karena itu amarah Si Boss Besar ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bagiku.

Satu hal yang mungkin agak menjadi tekanan adalah perfeksionisme Si Boss yang sangat tinggi. Dia selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan di setiap pekerjaan, baik pekerjaan karyawan-karyawannya, maupun pekerjaannya sendiri. Seperti yang kuceritakan tadi, bahkan untuk penyajian kopi dan cookie¬-nya setiap pagi pun, dia menuntut kesempurnaan. Tapi sekali lagi, hal ini tidak apa-apa. Semua pemimpin yang berhasil memang harus menuntut kesempurnaan, dan kurasa ini sebabnya dia bisa menjadi pemimpin perusahaan ini.

Lantas tentunya anda pasti semakin bertanya-tanya mengapa aku harus sampai hati mencampurkan merica dan garam ke dalam kopi yang kusediakan untuk Si Boss , sekalipun cookie-nya tetap kuhidangkan seelegan mungkin sehingga sebelum meneguk kopi itu, beliau tidak akan sadar bahwa aku berniat buruk padanya.
Mari kujelaskan secara lebih rinci.

Kesempurnaan dan keeleganan yang selalu ditekankan Boss-ku ini nampaknya telah mempengaruhi diriku lebih daripada kedua hal tersebut mempengaruhi dirinya sendiri. Sebagai sekretaris yang baik, aku berusaha menyerap semua ilmu yang kupelajari dari pekerjaan-pekerjaan kantor, termasuk filosofi kerja yang diajarkan oleh Si Boss Besar. Oleh karenanya, aku selalu menekankan kesempurnaan dan keeleganan di setiap hasil kerjaku, bahkan untuk hal sekecil menyediakan kopi dan cookie untuk Boss di pagi hari.

Oleh karena itu, tentunya terbayangkan betapa paniknya aku ketika mengetahui bahwa hari Jumat pekan lalu aku tak menyadari bahwa persediaan cookie kesukaan Boss-ku telah habis. Aku takut pekerjaanku kali ini tidak sempurna. Aku memaki diriku sendiri yang terlalu fokus dengan pekerjaan lain sehingga melupakan pekerjaan yang ini. Lalu aku langsung memikirkan beberapa alternatif untuk membeli cookie baru. Jika aku ingin membelinya di mall dekat kantorku, belum ada mall yang buka saat itu karena aku datang pagi-pagi sekali. Bila aku kembali pulang untuk membeli cookie di toko 24 jam yang ada di dekat rumahku, akan makan waktu yang sangat lama, dan Boss-ku akan lebih marah lagi mendapati tidak ada kopi dan cookie di mejanya, atau yang lebih parah lagi, mendapati kopi tanpa cookie di mejanya.

Akhirnya aku berlari ke warung di dekat kantor, berharap ibu-ibu warung yang baik hati yang biasa berjualan di sana sudah datang dan menjual cookie yang bermerk sama dengan yang biasa dimakan oleh Boss-ku. Alhamdulillah, si ibu pemilik warung benar sudah datang. Aku menanyakan apakah dia menjual cookie bermerk tersebut. Dan ya, dia menjualnya. Pagi itu, si ibu pemilik warung terlihat bagaikan malaikat bagiku.
Jadi kusiapkan kopi dengan gula dengan takaran yang disukai Boss-ku, dengan cangkir, piring kecil, dan sendok pengaduk yang disukai Boss-ku. Kadar air panasnya pun sudah kuatur sesuai dengan kesukaan beliau. Susu kupisahkan di sebuah tempat terpisah sesuai dengan yang dipesankan Boss. Kuaduk kopi itu dengan adukan tertentu sehingga kupastikan rasa kopi itu akan berbeda dengan kopi yang diaduk oleh tangan-tangan yang tidak terlalu mahir. Kemudian kuambil dua butir cookie yang kuletakkan di sisi cangkir di atas piring kecil yang menopang cangkir kopi tersebut, dengan posisi elegan yang disukai Boss. Kemudian kubiarkan sisa cookie tersimpan di dalam bungkus cookie yang agak robek sedikit dan kuletakkan dengan jarak ¾ jengkal dari cangkir kopi, sesuai yang diinginkan Boss.

Dan akhirnya Jumat itu kuhidangkan kopi dan cookie untuk Boss-ku dengan cara yang sama seperti yang kulakukan tiap harinya. Hanya saja, kali ini cookie kesukaannya dibeli di warung depan, bukan di supermarket.

Ya, hanya perbedaan sekecil itu. Hanya perbedaan yang sekecil itu dan Boss-ku mengetahuinya. Waktu dia memanggilku untuk menanyakan jadwalnya hari ini, hal pertama yang dikomentari olehnya sebelum masuk ke pokok pembicaraan penting adalah masalah cookie itu.

Sambil tertawa dengan nada yang terdengar meremehkan bagiku, dia berkata, “Ah, Lis... Kamu pasti belinya di warung-warung biasa, nih. Makanya rasanya beda. Payah.”

Payah? Dia bilang payah? Aku sudah memberikan segalanya untuk pekerjaanku agar mencapai kesempurnaan dan keeleganan yang dia inginkan. Berani-beraninya dia mengucapkan kata-kata tersebut padaku. Bila dia sudah lupa bagaimana susah payahnya menjadi bawahan, maka dia bisa bertukar posisi denganku dan merasakan datang paling pagi, pulang paling malam, memperhatikan segala detail, lalu baru dia bisa katakan padaku apa itu payah.

Jadi akibat ulah kata-katanya yang menyakiti hati dan harga diriku sebagai seorang sekretaris yang selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan itu, selama Jumat malam hingga Minggu malam aku tersedu-sedu di rumah. Orang tuaku cemas menganggap kejiwaanku sudah terganggu. Mungkin mereka benar. Aku sudah tidak bisa jadi orang payah. Jiwaku selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan di setiap hal yang kuperbuat. Dari situ aku menyadari bahwa bekerja di perusahaan itu membuat jiwaku tidak bebas lagi. Akhirnya pada Senin paginya, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku. Dengan caraku sendiri.

*******
Maka pada hari Senin, pagi ini, aku tidak datang ke kantor sepagi biasanya. Cookie yang kudapat dari warung kemarin tidak kuganti dengan cookie yang dibeli di supermarket kesukaan Boss-ku. Posisi cookie kubuat asal-asalan dan kubiarkan serpihan cookie mengotori meja Boss-ku. Aku tidak lagi mengaduk kopi tersebut dengan sungguh-sungguh. Bahkan yang kucampurkan ke dalam kopi itu bukanlah gula, melainkan garam dan merica (semoga Boss-ku tersedak saat meminumnya). Susu pun tidak kusediakan. Saat kuletakkan cangkir kopi tersebut di meja Boss-ku, pergerakanku agak kasar sehingga kopi pun agak tumpah ke meja.

Namun aku tak peduli. Memang itu yang kuharapkan. Aku ingin segera dipecat. Selama ini kadang-kadang aku mengharapkan Boss segera memecatku entah bagaimana caranya. Tapi karena aku tidak bisa tidak mengerjakan pekerjaan dengan tidak sempurna, maka Boss-ku pun tidak punya alasan untuk memecatku. Kali ini, dia tidak punya alasan lagi.

Lantas aku menunggu. Menunggu untuk segera dipanggil dan dipecat.

****
Pukul 10 pagi, itulah saat Boss-ku datang. Dia memang biasa datang jam segitu, karena dia Boss.
Biasanya dia akan langsung memanggilku beberapa menit setelah memasuki ruangannya. Akan tetapi, pagi ini, saat berjalan melewatiku, belum sempat masuk ke ruangannya, dia sudah langsung memanggilku. “Lisa, ikut ke ruangan saya,” begitu katanya.

Aku pun menurut. Meskipun dengan ekspresi yang tidak sepenurut biasanya. Sementara itu, Si Boss Besar terlihat lebih ceria daripada biasanya. Dia bahkan tak menyentuh kopi dan cookie yang kuletakkan secara tidak ikhlas di mejanya. Dia bahkan tidak menyadari adanya sedikit kekotoran di meja kerjanya. Padahal biasanya dia tidak mau ada kotoran setitik pun di meja kerjanya.

“Lis, duduk dulu,” ujarnya dengan sopan. Aku duduk. Tidak seelegan biasanya.
Lalu dia yang biasanya berputar-putar dulu dengan pembukaan ala direktur-direktur perusahaan besar kali ini langsung menyatakan maksudnya tepat pada sasaran.

“Saya mau mempromosikan kamu ke departemen lain,” ujar Si Boss Besar mantap.

Mataku membelalak. Tentu tidak semudah itu aku percaya dengan apa yang dinyatakan Si Boss. Tapi untuk apa beliau bergurau untuk hal sepenting ini?

“Ya, saya pikir kerjamu terlalu bagus untuk terus menerus jadi sekretaris. Sudah saatnya kamu mengembangkan karier. Kebetulan di bagian HR ada posisi yang cocok dengan kamu. Kamu kan paling jago soal ide-ide pengembangan karyawan gitu. Lagian interpersonal relationship kamu ke pegawai-pegawai lain juga bagus,” jelas Si Boss panjang lebar.

Aku terpaku. Boss agak heran dengan ekspresiku yang lebih datar daripada biasanya. Kemudian dia bertanya lagi, “Gimana, kamu mau?”

Boss memakan segigit cookie yang ada di sisi cangkir kopi. Dia tidak peduli kalau cookie itu hari ini terlihat berantakan. Dia bahkan tidak mengomentari bahwa rasa cookie itu seperti rasa cookie yang dibeli di warung depan.

Aku masih belum bersuara. Mulutku sudah mulai terbuka tapi otakku masih memproses baik-baik segala informasi yang demikian mendadak ini. Terlebih karena informasi itu kini berbenturan dengan rencana-rencana pengunduran diri yang tidak lazim yang sudah kususun baik-baik sejak Subuh tadi.

Kemudian, saat aku mulai mengucapkan bunyi “A...” sebagai pemanasan untuk melatih caraku menjawab tawaran yang harus terlihat dan terdengar sesempurna dan seelegan mungkin, Si Boss Besar mulai mengangkat cangkir di atas mejanya.

Cangkir yang sudah kuisi kopi yang kucampur dengan garam dan merica di dalamnya.

Jakarta, 12 Februari 2012

Jumat, 27 Januari 2012

7 Characteristics of Successful People to Enter Paradise

This is a lecture by Dr. Abu Ameenah Bilal Philips, the founder of Islamic Online University. He was in Jakarta yesterday, and I attended his lecture in Masjid Al-Azhar last night. So, he discussed about 7 characteristics of people who are among people of paradise (based on the characteristics of Rasulullah’s friends who were promised paradise).

1. Knowledge

2. Love for Allah

3. Complete trust for Allah

4. Patience

5. Self control in dealing with anger

6. Contentment of one’s situation (not envying others)

7. Sacrifice for Allah

I will try my best to improve myself based on these characteristics. Thanks to Dr. Philips for reminding us.

Rabu, 28 September 2011

Short Story: Roda (for my Mom's 60's birthday) :)

Roda
Oleh: Rima Muryantina


Kisah ini adalah kisah nyata. Setidaknya saya menyebutnya nyata karena saya mengalaminya. Berawal belasan tahun yang lalu ketika saya masih menjadi guru pemula. Saya mengajar PLKJ. Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta. Apa yang ada di benak pemerintah saat mewajibkan mata pelajaran itu diajarkan di sekolah-sekolah saat itu juga saya tidak mengerti. Saya, sebagai guru, yang tidak pernah berencana jadi guru namun tiba-tiba saja takdir membawa saya ke takdir yang sedemikian, saat itu juga bingung dengan signifikansi mata pelajaran tersebut sehingga harus dikhususkan menjadi suatu mata pelajaran. Saya bahkan saat itu agak heran mengapa mata pelajaran PLKJ tidak digabung saja dengan PKJ bila benar-benar dibutuhkan suatu mata pelajaran yang membuat anak-anak menguasai pengetahuan tentang Jakarta. Sama bingungnya ketika dulu mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dipisah dengan mata pelajaran IPS sedangkan sejarah internasional tetap digabung dengan IPS. Sama seperti saya bingung mengapa bila sudah masuk ke jenjang SMP, tata boga dan tata busana harus dipisah dan mengapa seni lukis dan seni musik dipisah, dan mengapa elektronika harus jadi mata pelajaran tersendiri terlepas dari fisika.
Tapi bukan pembagian mata pelajaran itu yang hendak saya ceritakan dan peributkan di sini. Saya akan menceritakan sesuatu yang sampai saat ini akan selalu saya kenang dan akan selalu menghantui saya selagi saya masih berprofesi sebagai guru meskipun sudah berganti-ganti mata pelajaran. Ini adalah kisah tentang seorang ibu dan seorang anak dari keluarga Blakblakan.
Tidak, saya tidak sedang bercanda. Dan saya tidak salah tulis. Nama keluarga mereka memang Blakblakan. Saya pun tidak mengetahui dari suku di Indonesia bagian mana nama keluarga itu berasal. Yang jelas, bila kita menganggap nama keluarga tersebut memiliki arti yang sama dengan kata ‘blak-blakan’ yang sering kita dengar dalam bahasa Indonesia kontemporer, saya rasa nama tersebut sesuai dengan kepribadian ibu dan anak yang sedang saya ceritakan ini. Mereka sangat blak-blakan. Mungkin bisa dibilang, terlalu blak-blakan.
Seandainya saya tidak pernah bertemu muka langsung dengan mereka atau tidak pernah terlibat dalam beberapa situasi yang mengharuskan saya untuk menghadapi mereka, mungkin saya tidak perlu mengingat-ngingat mereka selama bertahun-tahun sampai-sampai saya merasa wajib menceritakan kisah ini ke orang lain, hanya agar tidak bertumpuk di kepala saya sendiri. Tapi begitulah adanya. Saya pernah bertemu mereka. Dan terlibat masalah dengan mereka. Ibu dan Anak Blakblakan.
Hal itu bermula ketika saya harus mengajar Putri Blakblakan. Sekali lagi, saya tidak bercanda dan saya tidak berniat menghina. Namanya memang Putri dan nama keluarganya memang Blakblakan. Putri Blakblakan, saat itu, sedang duduk di bangku kelas 1 SD. Dan saya saat itu pertama kali mengajar mata pelajaran PLKJ di sekolah yang sama. Dan karena seperti yang kita semua tahu, sistem rekruitmen dan birokrasi di beberapa institusi pendidikan Indonesia sering kali melanggar prosedur, pada hari itu saya langsung dijebloskan oleh kepala sekolah untuk langsung mengajar di kelas 1B. Tanpa pelatihan, tanpa wawancara. Tanpa kesempatan membaca bahan mata pelajaran. Mereka hanya butuh guru untuk mengajar mata pelajaran yang tak pernah diajarkan sebelumnya. Dan mereka menemukan saya pada detik-detik terakhir sebelum kelas pada hari itu dimulai.
Alhasil, saya yang dapat pekerjaan saja sudah bersyukur memutuskan untuk maju terus pantang mundur. Bukan karena saya pemberani, tapi karena mau tidak mau, suka tidak suka, siapapun harus siap menyelamatkan harga diri dan bersikap layaknya pemberani bila sudah dijebloskan begitu saja ke dalam ruang kelas dan berhadapan dengan sekitar 40 orang anak kecil yang sudah siap meremehkan orang dewasa mana pun yang bertanggung jawab atas mereka. Saya menang umur, mereka menang jumlah. Anda tidak pernah membayangkan bagaimana anak kecil dapat mengeroyok mangsa mereka kapan saja dengan mudah.
Jadilah saya, di depan kelas itu, berusaha keras agar diterima oleh makhluk-makhluk kecil yang tidak saya sukai tapi merupakan alasan utama saya bekerja. Bukan alasan secara langsung, sih. Tapi bisa dibilang, 40 anak ini adalah boss saya. Saya yang bertanggung jawab atas pendidikan mereka. Oleh karena itu, saya harus mengajarkan pada mereka apa saja yang saya tahu tentang lingkungan dan kehidupan Jakarta tanpa harus kehilangan wibawa saya sebagai seorang guru.
Karena saat itu tidak ada ide, saya langsung saja membuka buku cetak PLKJ yang diberikan oleh kepala sekolah beberapa menit sebelumnya yang tentu saja belum sempat saya baca sebelum masuk kelas. Awalnya saya ingin memulai dari bab awal, tapi saya memutusan mencari materi apa dari daftar isi yang saya rasa paling gampang dijelaskan. Oleh karena itu, saat itu saya langsung membahas topik tentang kendaraan-kendaraan Jakarta. Saya merasa cukup menguasai bidang itu. Kendaraan dan lalu lintas Jakarta yang menyedihkan sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Dari situlah, saya mulai menemukan rasa percaya diri untuk mengajar anak-anak tentang kendaraan dan lalu lintas di Jakarta. Terlalu percaya diri, sehingga saya lupa bahwa saya pun bukan orang asli Jakarta.
Kepercayaan diri saya itu sedang tinggi-tingginya membumbung ketika salah seorang siswa laki-laki mengangkat tangan dan bertanya, “Bu, kendaraan roda tiga di Jakarta apa aja ya?”
Saya langsung terpikir dengan becak dan bajaj. Becak pernah saya naiki waktu saya kecil meski saat saya mengajar itu becak sudah tidak beroperasi lagi di Jakarta. Bajaj masih jelas sering saya naiki pada masa itu dan masih ada hingga saat saya bercerita sekarang. Oleh karena itu, saya mengambil dua contoh itu untuk menjawab pertanyaan dari murid saya tersebut.
“Bemo juga rodanya tiga kan, Bu?” ungkap seorang siswi tiba-tiba.
Siswi yang satu ini berbeda dengan siswi-siswi lain. Bahkan berbeda dengan siswa laki-laki yang sebelumnya bertanya. Ia tidak mengangkat tangannya sebelum bertanya. Belum diberi kesempatan berbicara, ia sudah berbicara. Ya. Dia adalah Putri Blakblakan.
Lalu saya, yang sebelum kuliah tinggal di Surabaya, memutar otak saya untuk mengingat apa benar bahwa bemo rodanya tiga. Tapi otak dan memori saya saat itu mengatakan, “tidak.” Ya, saya saat itu menjawab tidak, karena saya ingat betul saya sering naik bemo di Surabaya, dan bemo yang saya naiki rodanya empat.
“Tidak, bemo rodanya empat,” saya mempertegas jawaban saya pada Putri Blakblakan.
Mata kecil Putri Blakblakan tiba-tiba membelalak, seolah tidak terima dengan jawaban saya. Lantas ia berkata lagi. Tanpa mengangkat tangan. Tanpa diberikan kesempatan bicara. “Tapi setahu saya bemo rodanya tiga, Bu.”
Muka saya mulai memerah dan kepala saya saat itu panas. Saya tidak mau dipermalukan di depan murid-murid pada hari pertama saya mengajar. Apalagi dipermalukan oleh anak kecil yang menurut saya saat itu, tidak tahu apa-apa dibandingkan saya yang lebih memiliki pengalaman hidup dan mengetahui banyak hal.
“Tidak, bemo rodanya empat, sayang,” ujar saya mempertegas ucapan saya namun berusaha menambahkan kata ‘sayang’ sebagai eufimisme agar keadaan tidak menjadi terlalu tegang.
“Tapi ibu saya bilang dulu waktu dia kecil dia pernah naik bemo di Jakarta dan rodanya tiga,” Putri Blakblakan mempertegas argumennya.
“Tapi ibu juga pernah naik bemo waktu kecil dan bemo rodanya empat,” nada bicara saya saat itu mulai melenceng ke kekesalan. Tapi saya masih berusaha menahan.
“Ibu naik bemonya di Jakarta?” anak itu bertanya lagi dengan nada yang sederhana namun membuat saya kesal. Seolah meragukan kemampuan saya dalam mata pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, yang menurut saya tidak seberapa susah dibandingkan pelajaran matematika.
“Bemo di mana-mana sama saja! Mau di Jakarta, mau di Surabaya, semuanya rodanya empat!” Amarah saya lepas juga. Seisi kelas terdiam memandangi kami berdua. Putri Blakblakan pun diam. Wajahnya nampak belum menerima pendapat saya, tapi ia sejenak menahan dirinya untuk tidak berpendapat.
Saya menghela nafas sejenak, berpikir bahwa saya dapat mengendalikan situasi. “Coba lihat saja di sinetron Si Doel. Mandra mengendarai bemo. Empat kan rodanya?” Saat saya mengucapkan argumen tersebut, terlihat beberapa siswa lain tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan pendapat saya. Saya hampir menang.
Tapi kemudian Putri Blakblakan menyambar dengan lantang, “Tapi yang di sinetron Si Doel itu opelet, Bu. Saya nonton Si Doel tiap hari.”
Wajah saya saat itu merah padam. Anak-anak lain yang tadinya mulai tersenyum dan mengangguki argumen saya tiba-tiba mengubah ekspresi wajah mereka. Bahkan ada anak lain yang mengiyakan bahwa memang benar yang dikendarai Mandra itu adalah opelet.
“Sudah! Cukup! Kalau Ibu bilang rodanya empat, ya rodanya empat! Kalau tidak mau menurut kamu berdiri di luar saja!”
Maka ia pun berjalan keluar kelas dan berdiri di luar melegalkan keengganannya untuk tidak mau menurut pada saya.
Dan demikian Putri Blakblakan adalah murid pertama yang saya hukum karena saya bersikeras bahwa bemo rodanya empat dan dia bersikeras bahwa bemo rodanya tiga. Saat itu, saya belum memahami bahwa kendaraan yang biasa disebut bemo di Surabaya berbeda dengan bemo yang dikenal oleh masyarakat Jakarta. Ya, kalian mungkin berpikir bahwa saya tidak adil, tidak bijak, dan mungkin bodoh karena tidak dapat melihat bahwa hal ini sekedar perbedaan persepsi saja. Tapi ada hal yang lebih mengejutkan daripada sekedar keblak-blakannya dan kekerasan hatinya yang membuat saya sampai saat ini tidak bisa menghargai anak itu bahkan sekalipun dia benar.
Keesokannya, Nyonya Blakblakan, ibunda Putri Blakblakan hadir ke sekolah hendak bertemu dengan saya. Yang lebih parah, ia menghadap kepala sekolah terlebih dahulu dan membicarakan masalah saya dan Putri di depan kepala sekolah. Bu Kepala Sekolah yang mengetahui hal itu langsung memanggil saya ke ruangannya. Saya berhadapan langsung dengan kepala sekolah, Nyonya Blakblakan, dan Putri Blakblakan. Pada saat itu, saya benar-benar merasa dikeroyok.
Nyonya Blakblakan membawa sebuah foto masa kecilnya dengan sopir bemo yang sering mengantarnya berkeliling Jakarta. Di foto itu, jelas bemo tersebut beroda tiga. Kemudian ia memperlihatkan pada saya koran-koran masa lalu yang memberitakan tentang bemo. Foto bemo di koran-koran tersebut juga menunjukkan bahwa bemo adalah kendaraan beroda tiga. Tidak hanya itu, ia bahkan membeli tabloid yang meliput para pemeran Si Doel di balik layar (saat itu Si Doel memang sangat terkenal). Dalam tabloid itu pun ada tulisan yang mencantumkan bahwa kendaraan yang dikendarai Mandra adalah opelet, bukan bemo.
Maka skak mat untuk saya.
Bu Kepala Sekolah menasehati saya bahwa saya harus membedakan istilah bemo di Jakarta dan di Surabaya. Dan karena saya mengajar Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, maka Bu Kepala Sekolah menyarankan saya untuk melihat dari perspektif orang Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa tidak bijak bagi seorang guru untuk menghukum muridnya hanya karena muridnya mengoreksi kata-kata guru yang salah.
Maka tidak ada jalan lain bagi saya saat itu untuk meminta maaf pada Nyonya dan Putri Blakblakan dengan tulus dan ikhlas. Karena memang itu yang harus saya lakukan.
Tapi sejak saat itu saya selalu takut dan berhati-hati dalam mengajar. Segala detail saya perhatikan dengan seksama. Saya tidak mau salah lagi dan tidak mau menanggung malu lagi di depan para pelajar. Sebenarnya pertemuan saya dengan ibu dan anak Blakblakan itu memang menghadirkan hikmah tersendiri bagi saya. Saya jadi sadar bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang penting, bukan main-main belaka. Bahwa semua mata pelajaran harus disampaikan dengan pengetahuan, meskipun PLKJ nampak tidak sesulit matematika. Bahwa apapun yang terjadi, manusia adalah manusia. Kesalahan adalah sesuatu yang lekat dengan manusia.
Tapi tetap saja, pertemuan saya dengan anak dan ibu Blakblakan itu membuat saya merasa tidak nyaman. Karena saya yang tadinya berpikir bahwa dunia ini begitu mudah dan sederhana tiba-tiba menjadi sangat teliti dan seksama akan segala tindakan yang saya lakukan, khususnya dalam melaksanakan pekerjaan saya sebagai guru. Saya tidak lagi mudah dan aman dalam melakukan segala gerak-gerik saya setiap kali mengingat tatapan dan cara mereka menunjukkan kebenaran ke hadapan saya.
Saya berharap saya dapat kembali saja ke kehidupan muda saya di mana saya melihat segala sesuatu dengan muda dan sederhana. Saat itu dunia begitu indah dan mudah ditebak. Seolah-olah kenyataan dengan mudah menampakkan wujudnya secara blakblakan ke kita tanpa perlu saya pikirkan benar atau salahnya.
Tapi sayangnya.... dunia tidak seblakblakan itu. Dan pertemuan dengan Nyonya dan Putri Blakblakan membuat saya terus berpikir.
Canberra, 28 September 2011

Selasa, 27 September 2011

Things I Wanna Do When Going Back Home

Something happened in the last few days. After contemplating about the meaning of life, I finally rediscovered my purpose of living. I think I lost it somewhere, I can't remember when.

No joking. It's that serious. But I can't tell you. No words could explain it. I don't even plan to write a story or make a film about it. I just want to keep it inside me so that I will always remember it, and I don't have to get through the long exhausting discovery all over again. I got lost. But I found my way out.

So...now I've become more alive after the long contemplation during my one-year study in Australia (Australia is really the place of Hakuna Matata, people always say 'no worries' all the time. I love this country). Thus, I want to list what I want to do when I return to Indonesia after my study.

1. I want to find a settle job. I want to be either a journalist, a linguist, a scriptwriter, an embassy staff, a non-profit organization staff, or a teacher. If possible, I want to be all of them. Then, I want to pay my debt to my parents.

2. I want to learn more about cooking and gardening.

3. I want to learn Arabic, Javanese, and Batak. I want to do a research on these languages. I want to make it my lifetime project.

4. I want to learn more about Al-Qur'an and Al-Hadith.

5. I want to finish my novel

6. I want to write stories for children like Roald Dahl and Dr. Seuss do.

7. I want to do a research on children with language disabilities. If it's not possible, at least I want to help them.

8. I want to participate in some linguistic conferences with my friend, Melody Violine

9. I want to find  a husband and build a family that is sakinah mawaddah warrohmah

10. I want to master chess-playing!!

Those are plans. God decides. So, please help me, God.

Minggu, 04 September 2011

Thoughts On Inspiring Friends: Prof. Arie Sukanti Hutagalung, S.H., M.Li.


Okay, she's not my friend. She's my mom. But she's my friend too. My long-life friend, to be specific. We've been through best and worst moments in life together.

Anyway, the thing is: I miss her. So I'll just babble anything I know that reminds me of her.

1. She was born on September 29, 1951. That means her birthday is coming up very soon. And unlike previous years, I can't be with her in her birthday. My birthday present for her shall be postponed until I finish my study in the ANU (in December, hopefully).  Maybe I'll just write her a short story. Just like what I did for my parents' anniversary.

2. She is THE professor of Agrarian Law. What I mean "the" is the fact that she's one of the only three (or two? CMIIW, Mom) professor of Agrarian Law in Indonesia. She understands something most people in Indonesia don't understand. This is why I could never exceed her. She's too great.

3. She's a very devoted mother. Sometimes it's scary. She loves Dad, me, and my sister very much. Too much that sometimes I think I can't breathe because of her love. But that's what she is, and I love her the way she is.

4. She's nice but different. Indonesian people think she's far too loud in expressing her opinions. I think that's normal. Because most of the time she is right. It's the people who just can't get her. They're too stupid to understand her, perhaps. But yeah, I have to admit that sometimes she's just far waay too loud. That's her weakness, and my weakness too. We both need to learn to shut up. But why shut up when you know you're right? Why letting the stupid people talk as if they knew everything while in fact they don't? WHYYY??? *okay, stop it, Rim*

5. She's too nice sometimes people take an advantage of her. And I hate those kind of people. I hate people who hurt my mother. I wish them a very unhappy life. And may God forgive them, because I won't.

My Favourite Things At The Moment

I randomly want to post my favourite things at the moment. I believe that remembering my favourite things would keep my positivity. I've just lost my grudge towards a group of people because they are now suffering what I suffered for years. During those years, I've kept too much negativity in me. So, since now I don't feel like I need a reason to hate life anymore, I'm trying to maintain my long-lost positivity so that I won't lose it anymore.

So here, we go. The list of my favourite things:

1. I LOVE Islam. I feel grateful for being born as a Muslim. I love The Qur'an. It's the greatest book on earth despite the fact that many people often misunderstand it. I'm planning to explicate some religious concept from the Qur'an with NSM for my Seminar on Semantics' essay. And today I just bought a book on the translation of keywords in Qur'an verses to support my essay. I also have borrowed Toshihiko Izutsu's book on the semantic analysis of some concepts in the Qur'an. He once analyzed those concepts with conceptual semantics theory. I'm trying to make a more intense analysis on the same matter, but via NSM, of course.

2. I LOVE books. Or rather, the things I learn from books. Thus, I really like things that are related to books as well. I like libraries, bookshops, a nice old man who sells books at the ANU Thursday market, goodreads, and so on, and so forth. I used to be a slow reader when I was a child. That's why I've always had more eagerness to read compared to other children. Because I couldn't read as fast as they did, and it always embarrassed me. But whenever I feel like 'into' the content of the book, I guess I can't stop reading. But that depends on what kind of book I read anyway. I usually don't like teenlit books or anything that I consider will not broaden my knowledge.

3. I LOVE listening to music. No, not playing. I can't play any instrument properly. Of course I can play flute, pianica, and a bit of drum. But that's because I was forced to play them when I was in school, otherwise I won't pass the subject. But anyway, I like listening to music. My favourite type of music is rock. But I also like pop, techno, alternative, jazz, country, folk, classic etc... anything. As long as I feel like it, then I like it. That doesn't mean I like every kind of music, though. I can only say I like some musicians, and I might despise other musicians. My favourite musicians are Arctic Monkeys, Radiohead, and... of course SNSD. They're musicians, too. Piss off, antis! LOL.

4. I LOVE languages. I can speak Indonesian, English, Japanese, some German, and some French. I understand very basic Arabic, Batak, and Javanese too. And I'm now learning Gamilaraay, an Aboriginal languge spoken in New South Wales. But I think I'm not fluent in any of them, except for Indonesian, of course. Aside from my interest in learning languages, I also like to analyze languages. And that's why I love linguistics.

5. I LOVE being alone. And this is why I love Canberra. I have too much time for myself. I can go anywhere by myself. I can enjoy the world from my own point of view. No one even protests. I wish I could do the same thing in Jakarta. But if I do that in Jakarta, people will call me selfish. Well, maybe I am (selfish).

6. I LOVE badminton. Again, I'm not a player. Only an observer. But that's how I like it. I miss watching badminton matches. It is not really popular in countries other than China and Indonesia. So sad.

7. I LOVE helping troubled students. Because I think I was once in their position. I want to help people whom are not understood by most people. I want to understand them, because I know how it feels to be not understood. That's why I really want to teach students with learning disabilities. I hope I can do that when I came back to Indonesia.

8. I LOVE journalism. Especially journalism that doesn't take side too much on particular groups. I would like to be able to report news on sports, economics, education, women, culture, environment, and entertainment. But NOT politics. I HATE political news.

9. I LOVE classic literature and a few contemporary short stories. I don't hate contemporary literature. I just feel like I'm more attached to those works by Tolstoy, Neruda, Pirandello, Chekov, Achdiat K. Mihardja, etc. Somehow I can understand those people from the past better than I understand people who live today. Except for Sapardi Djoko Damono and Seno Gumira Ajidarma. They're brilliant.

10. I LOVE things provided for children. No, I don't love children in general. Sometimes they annoy me. But I love children literature (esp. those written by Roald Dahl). And I love dolls, any television program for children, movies about children, etc. The thing I like about my childhood is because people provide me good child stuff. I like child stuff.

Well, that's about it at the moment. Maybe I'll have more things to add later on. If that happens, I'll just edit this post.

Well, nobody reads this blog anyway. And that's how I like it.

Senin, 22 Agustus 2011

A PLAY OF CHEKOV'S SISTER'S MONOLOGUE IN STREET THEATRE IN THIS NOVEMBER!

I just love any seminar from ANU Linguistics Dissemination. I attend the seminars on Monday, Friday, and sometimes on Wednesday. I always got new perspectives about languages and culture from the presenters and also from the audiences who ask questions (sometimes I also ask questions if I'm confident enough that I know some things about the topic discussed. But most of the time I'm happy enough with my part as a good listener. LOL).

However, today is the most interesting seminar I've attended so far. In this seminar, the speaker is Dr. Subhash Jaireth, an Australian writer of Hindi descent. He can speak English, Hindi, and most importantly he can speak Russian. As I'm also really interested in Russian literature (I'm a huge fan of Tolstoy's and Chekov's works), I'm also interested in the fact that Subhash has created a novella called "To Silence," which consists of three monologues from three different people throughout history. One of them, and the most central narrator, is Maria Chekova, Anton Chekov's sister. From Maria's perspective, we're being told about the other side of Chekov's life. So, it's basically a historical fiction, as Subhash said.

And during the seminar, I really love the way Subhash explained about the brief idea of his novella. He's getting emotional when he explained something about how Chekov's ex fiancee was killed in a gas chamber in a Nazi concentration camp. He was really emotional, and it seems like he has blended with his characters. I really love writers who are so into their characters. Subhash doesn't treat Maria Chekova and others as his children  (as I would treat the characters in my stories as my children), but he also feels the pain that the characters suffered throughout their lives. It's something most linguists only know a bit, but true writers would definitely understand. He even nearly cried during the seminar when he read about some parts of his novella, which also touched my heart as a writer.

The book is still in limited edition for now. But I'm gonna wait till Co-Op sell it. Haha. And the most exciting news is this novella is going to be performed as a play in the Street Theatre in late November 2011. Can't hardly wait! I have to see that!