Kopi, Cookie, Garam, dan Merica
Oleh: Rima Muryantina
Merica dan garam sudah tercampur di kopi yang kusiapkan untuk Si Boss Besar. Si Boss Besar yang sudah kulayani selama 5 tahun terakhir. Tiga potong cookie kesukaanna kusematkan di dekat cangkir berisi kopi berisi garam dan merica itu, hanya supaya dia dapat meredakan rasa garam dan rasa asin yang tak tertahankan.
Aku telah mengenalnya sejak aku baru saja menapak jejak di alam bebas setelah bertahun-tahun menempa ilmu; eh, tidak juga, sih; maksudku, menempa formalitas-formalitas di berbagai institusi pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Pada saat itu, mataku masih terlalu lugu untuk melihat dan memahami bagaimana pahit manisnya dunia kerja. Pada saat itu, aku masih melihat dunia ini dapat dilihat dari sudut pandang benar-salah yang ditawarkan buku-buku pelajaran dan buku-buku kuliah. Bukan berarti para peneliti, para pengajar, dan para penulis buku itu salah. Hanya saja, untuk mengenali kebenaran dan kesalahan itu terasa lebih sulit di dunia nyata karena kompleksitas kepentingan-kepentingan dan alur hidup manusia yang tidak mudah ditebak.
Pada saat itulah aku bertemu dengan Si Boss Besar yang sejak saat itu selalu kusediakan kopi setiap paginya. Itu memang tidak tertulis di job description-ku sebagai sekretaris, tapi saat itu, sebagai sekretaris junior dari sebuah perusahaan besar, itulah pekerjaan pertama yang dititahkan padaku oleh pengawasku, sang sekretaris senior. Sekarang, ketika aku sudah menjadi sekretaris senior, aku masih melakukannya. Bukan karena aku suka dengan pekerjaan yang remeh-remeh, tapi karena Si Boss percaya bahwa kopi adukankulah yang paling memenuhi selera cita rasa tingginya sebagai pecinta kopi. Dan tentunya, karena aku selalu tahu jenis cookie apa yang dia sukai, dan tahu bagaimana meletakkan cookie tersebut dengan posisi seelegan mungkin sehingga Si Boss merasa seperti dilayani di hotel-hotel bintang lima yang berkelas. Setidaknya, dia berimajinasi seperti itu.
Pekerjaan sebagai sekretaris di sebuah perusahaan besar memang cukup berharga diri bila kita melihat jumlah gaji yang tersedia (bahkan di tahap awal pun jumlahnya sudah menggiurkan) dan tentunya bila dilihat dari sisi lokasi (siapa yang tidak mau bekerja di kawasan Sudirman?).
Tidak, mulanya aku tidak membenci Si Boss Besar. Dia hanya seperti boss-boss biasa yang terlihat rapi, rupawan, wangi, bersih, dan tentunya terlihat “kaya” serta berwibawa dan pintar. Kadang dia terdengar menyebalkan karena mencampur bahasa Inggris dan bahasa Indonesia di hampir setiap kalimat yang dia ucapkan. Namun hal ini tidak apa-apa, karena demikianlah cara berbicara semua orang berjabatan tinggi yang kantornya berlokasi di SCBD.
Dia tidak pernah telat memberiku gaji, tunjangan, dan hak-hakku yang lain. Kadang dia memarahi bawahannya, tapi masih dalam kaidah-kaidah profesionalisme. Aku sendiri kenal ayahku sebagai pemimpin yang paling galak dan paling pemarah baik di rumah maupun di kantor, karena itu amarah Si Boss Besar ini sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah bagiku.
Satu hal yang mungkin agak menjadi tekanan adalah perfeksionisme Si Boss yang sangat tinggi. Dia selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan di setiap pekerjaan, baik pekerjaan karyawan-karyawannya, maupun pekerjaannya sendiri. Seperti yang kuceritakan tadi, bahkan untuk penyajian kopi dan cookie¬-nya setiap pagi pun, dia menuntut kesempurnaan. Tapi sekali lagi, hal ini tidak apa-apa. Semua pemimpin yang berhasil memang harus menuntut kesempurnaan, dan kurasa ini sebabnya dia bisa menjadi pemimpin perusahaan ini.
Lantas tentunya anda pasti semakin bertanya-tanya mengapa aku harus sampai hati mencampurkan merica dan garam ke dalam kopi yang kusediakan untuk Si Boss , sekalipun cookie-nya tetap kuhidangkan seelegan mungkin sehingga sebelum meneguk kopi itu, beliau tidak akan sadar bahwa aku berniat buruk padanya.
Mari kujelaskan secara lebih rinci.
Kesempurnaan dan keeleganan yang selalu ditekankan Boss-ku ini nampaknya telah mempengaruhi diriku lebih daripada kedua hal tersebut mempengaruhi dirinya sendiri. Sebagai sekretaris yang baik, aku berusaha menyerap semua ilmu yang kupelajari dari pekerjaan-pekerjaan kantor, termasuk filosofi kerja yang diajarkan oleh Si Boss Besar. Oleh karenanya, aku selalu menekankan kesempurnaan dan keeleganan di setiap hasil kerjaku, bahkan untuk hal sekecil menyediakan kopi dan cookie untuk Boss di pagi hari.
Oleh karena itu, tentunya terbayangkan betapa paniknya aku ketika mengetahui bahwa hari Jumat pekan lalu aku tak menyadari bahwa persediaan cookie kesukaan Boss-ku telah habis. Aku takut pekerjaanku kali ini tidak sempurna. Aku memaki diriku sendiri yang terlalu fokus dengan pekerjaan lain sehingga melupakan pekerjaan yang ini. Lalu aku langsung memikirkan beberapa alternatif untuk membeli cookie baru. Jika aku ingin membelinya di mall dekat kantorku, belum ada mall yang buka saat itu karena aku datang pagi-pagi sekali. Bila aku kembali pulang untuk membeli cookie di toko 24 jam yang ada di dekat rumahku, akan makan waktu yang sangat lama, dan Boss-ku akan lebih marah lagi mendapati tidak ada kopi dan cookie di mejanya, atau yang lebih parah lagi, mendapati kopi tanpa cookie di mejanya.
Akhirnya aku berlari ke warung di dekat kantor, berharap ibu-ibu warung yang baik hati yang biasa berjualan di sana sudah datang dan menjual cookie yang bermerk sama dengan yang biasa dimakan oleh Boss-ku. Alhamdulillah, si ibu pemilik warung benar sudah datang. Aku menanyakan apakah dia menjual cookie bermerk tersebut. Dan ya, dia menjualnya. Pagi itu, si ibu pemilik warung terlihat bagaikan malaikat bagiku.
Jadi kusiapkan kopi dengan gula dengan takaran yang disukai Boss-ku, dengan cangkir, piring kecil, dan sendok pengaduk yang disukai Boss-ku. Kadar air panasnya pun sudah kuatur sesuai dengan kesukaan beliau. Susu kupisahkan di sebuah tempat terpisah sesuai dengan yang dipesankan Boss. Kuaduk kopi itu dengan adukan tertentu sehingga kupastikan rasa kopi itu akan berbeda dengan kopi yang diaduk oleh tangan-tangan yang tidak terlalu mahir. Kemudian kuambil dua butir cookie yang kuletakkan di sisi cangkir di atas piring kecil yang menopang cangkir kopi tersebut, dengan posisi elegan yang disukai Boss. Kemudian kubiarkan sisa cookie tersimpan di dalam bungkus cookie yang agak robek sedikit dan kuletakkan dengan jarak ¾ jengkal dari cangkir kopi, sesuai yang diinginkan Boss.
Dan akhirnya Jumat itu kuhidangkan kopi dan cookie untuk Boss-ku dengan cara yang sama seperti yang kulakukan tiap harinya. Hanya saja, kali ini cookie kesukaannya dibeli di warung depan, bukan di supermarket.
Ya, hanya perbedaan sekecil itu. Hanya perbedaan yang sekecil itu dan Boss-ku mengetahuinya. Waktu dia memanggilku untuk menanyakan jadwalnya hari ini, hal pertama yang dikomentari olehnya sebelum masuk ke pokok pembicaraan penting adalah masalah cookie itu.
Sambil tertawa dengan nada yang terdengar meremehkan bagiku, dia berkata, “Ah, Lis... Kamu pasti belinya di warung-warung biasa, nih. Makanya rasanya beda. Payah.”
Payah? Dia bilang payah? Aku sudah memberikan segalanya untuk pekerjaanku agar mencapai kesempurnaan dan keeleganan yang dia inginkan. Berani-beraninya dia mengucapkan kata-kata tersebut padaku. Bila dia sudah lupa bagaimana susah payahnya menjadi bawahan, maka dia bisa bertukar posisi denganku dan merasakan datang paling pagi, pulang paling malam, memperhatikan segala detail, lalu baru dia bisa katakan padaku apa itu payah.
Jadi akibat ulah kata-katanya yang menyakiti hati dan harga diriku sebagai seorang sekretaris yang selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan itu, selama Jumat malam hingga Minggu malam aku tersedu-sedu di rumah. Orang tuaku cemas menganggap kejiwaanku sudah terganggu. Mungkin mereka benar. Aku sudah tidak bisa jadi orang payah. Jiwaku selalu menuntut kesempurnaan dan keeleganan di setiap hal yang kuperbuat. Dari situ aku menyadari bahwa bekerja di perusahaan itu membuat jiwaku tidak bebas lagi. Akhirnya pada Senin paginya, aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku. Dengan caraku sendiri.
*******
Maka pada hari Senin, pagi ini, aku tidak datang ke kantor sepagi biasanya. Cookie yang kudapat dari warung kemarin tidak kuganti dengan cookie yang dibeli di supermarket kesukaan Boss-ku. Posisi cookie kubuat asal-asalan dan kubiarkan serpihan cookie mengotori meja Boss-ku. Aku tidak lagi mengaduk kopi tersebut dengan sungguh-sungguh. Bahkan yang kucampurkan ke dalam kopi itu bukanlah gula, melainkan garam dan merica (semoga Boss-ku tersedak saat meminumnya). Susu pun tidak kusediakan. Saat kuletakkan cangkir kopi tersebut di meja Boss-ku, pergerakanku agak kasar sehingga kopi pun agak tumpah ke meja.
Namun aku tak peduli. Memang itu yang kuharapkan. Aku ingin segera dipecat. Selama ini kadang-kadang aku mengharapkan Boss segera memecatku entah bagaimana caranya. Tapi karena aku tidak bisa tidak mengerjakan pekerjaan dengan tidak sempurna, maka Boss-ku pun tidak punya alasan untuk memecatku. Kali ini, dia tidak punya alasan lagi.
Lantas aku menunggu. Menunggu untuk segera dipanggil dan dipecat.
****
Pukul 10 pagi, itulah saat Boss-ku datang. Dia memang biasa datang jam segitu, karena dia Boss.
Biasanya dia akan langsung memanggilku beberapa menit setelah memasuki ruangannya. Akan tetapi, pagi ini, saat berjalan melewatiku, belum sempat masuk ke ruangannya, dia sudah langsung memanggilku. “Lisa, ikut ke ruangan saya,” begitu katanya.
Aku pun menurut. Meskipun dengan ekspresi yang tidak sepenurut biasanya. Sementara itu, Si Boss Besar terlihat lebih ceria daripada biasanya. Dia bahkan tak menyentuh kopi dan cookie yang kuletakkan secara tidak ikhlas di mejanya. Dia bahkan tidak menyadari adanya sedikit kekotoran di meja kerjanya. Padahal biasanya dia tidak mau ada kotoran setitik pun di meja kerjanya.
“Lis, duduk dulu,” ujarnya dengan sopan. Aku duduk. Tidak seelegan biasanya.
Lalu dia yang biasanya berputar-putar dulu dengan pembukaan ala direktur-direktur perusahaan besar kali ini langsung menyatakan maksudnya tepat pada sasaran.
“Saya mau mempromosikan kamu ke departemen lain,” ujar Si Boss Besar mantap.
Mataku membelalak. Tentu tidak semudah itu aku percaya dengan apa yang dinyatakan Si Boss. Tapi untuk apa beliau bergurau untuk hal sepenting ini?
“Ya, saya pikir kerjamu terlalu bagus untuk terus menerus jadi sekretaris. Sudah saatnya kamu mengembangkan karier. Kebetulan di bagian HR ada posisi yang cocok dengan kamu. Kamu kan paling jago soal ide-ide pengembangan karyawan gitu. Lagian interpersonal relationship kamu ke pegawai-pegawai lain juga bagus,” jelas Si Boss panjang lebar.
Aku terpaku. Boss agak heran dengan ekspresiku yang lebih datar daripada biasanya. Kemudian dia bertanya lagi, “Gimana, kamu mau?”
Boss memakan segigit cookie yang ada di sisi cangkir kopi. Dia tidak peduli kalau cookie itu hari ini terlihat berantakan. Dia bahkan tidak mengomentari bahwa rasa cookie itu seperti rasa cookie yang dibeli di warung depan.
Aku masih belum bersuara. Mulutku sudah mulai terbuka tapi otakku masih memproses baik-baik segala informasi yang demikian mendadak ini. Terlebih karena informasi itu kini berbenturan dengan rencana-rencana pengunduran diri yang tidak lazim yang sudah kususun baik-baik sejak Subuh tadi.
Kemudian, saat aku mulai mengucapkan bunyi “A...” sebagai pemanasan untuk melatih caraku menjawab tawaran yang harus terlihat dan terdengar sesempurna dan seelegan mungkin, Si Boss Besar mulai mengangkat cangkir di atas mejanya.
Cangkir yang sudah kuisi kopi yang kucampur dengan garam dan merica di dalamnya.
Jakarta, 12 Februari 2012