Rabu, 28 September 2011

Short Story: Roda (for my Mom's 60's birthday) :)

Roda
Oleh: Rima Muryantina


Kisah ini adalah kisah nyata. Setidaknya saya menyebutnya nyata karena saya mengalaminya. Berawal belasan tahun yang lalu ketika saya masih menjadi guru pemula. Saya mengajar PLKJ. Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta. Apa yang ada di benak pemerintah saat mewajibkan mata pelajaran itu diajarkan di sekolah-sekolah saat itu juga saya tidak mengerti. Saya, sebagai guru, yang tidak pernah berencana jadi guru namun tiba-tiba saja takdir membawa saya ke takdir yang sedemikian, saat itu juga bingung dengan signifikansi mata pelajaran tersebut sehingga harus dikhususkan menjadi suatu mata pelajaran. Saya bahkan saat itu agak heran mengapa mata pelajaran PLKJ tidak digabung saja dengan PKJ bila benar-benar dibutuhkan suatu mata pelajaran yang membuat anak-anak menguasai pengetahuan tentang Jakarta. Sama bingungnya ketika dulu mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dipisah dengan mata pelajaran IPS sedangkan sejarah internasional tetap digabung dengan IPS. Sama seperti saya bingung mengapa bila sudah masuk ke jenjang SMP, tata boga dan tata busana harus dipisah dan mengapa seni lukis dan seni musik dipisah, dan mengapa elektronika harus jadi mata pelajaran tersendiri terlepas dari fisika.
Tapi bukan pembagian mata pelajaran itu yang hendak saya ceritakan dan peributkan di sini. Saya akan menceritakan sesuatu yang sampai saat ini akan selalu saya kenang dan akan selalu menghantui saya selagi saya masih berprofesi sebagai guru meskipun sudah berganti-ganti mata pelajaran. Ini adalah kisah tentang seorang ibu dan seorang anak dari keluarga Blakblakan.
Tidak, saya tidak sedang bercanda. Dan saya tidak salah tulis. Nama keluarga mereka memang Blakblakan. Saya pun tidak mengetahui dari suku di Indonesia bagian mana nama keluarga itu berasal. Yang jelas, bila kita menganggap nama keluarga tersebut memiliki arti yang sama dengan kata ‘blak-blakan’ yang sering kita dengar dalam bahasa Indonesia kontemporer, saya rasa nama tersebut sesuai dengan kepribadian ibu dan anak yang sedang saya ceritakan ini. Mereka sangat blak-blakan. Mungkin bisa dibilang, terlalu blak-blakan.
Seandainya saya tidak pernah bertemu muka langsung dengan mereka atau tidak pernah terlibat dalam beberapa situasi yang mengharuskan saya untuk menghadapi mereka, mungkin saya tidak perlu mengingat-ngingat mereka selama bertahun-tahun sampai-sampai saya merasa wajib menceritakan kisah ini ke orang lain, hanya agar tidak bertumpuk di kepala saya sendiri. Tapi begitulah adanya. Saya pernah bertemu mereka. Dan terlibat masalah dengan mereka. Ibu dan Anak Blakblakan.
Hal itu bermula ketika saya harus mengajar Putri Blakblakan. Sekali lagi, saya tidak bercanda dan saya tidak berniat menghina. Namanya memang Putri dan nama keluarganya memang Blakblakan. Putri Blakblakan, saat itu, sedang duduk di bangku kelas 1 SD. Dan saya saat itu pertama kali mengajar mata pelajaran PLKJ di sekolah yang sama. Dan karena seperti yang kita semua tahu, sistem rekruitmen dan birokrasi di beberapa institusi pendidikan Indonesia sering kali melanggar prosedur, pada hari itu saya langsung dijebloskan oleh kepala sekolah untuk langsung mengajar di kelas 1B. Tanpa pelatihan, tanpa wawancara. Tanpa kesempatan membaca bahan mata pelajaran. Mereka hanya butuh guru untuk mengajar mata pelajaran yang tak pernah diajarkan sebelumnya. Dan mereka menemukan saya pada detik-detik terakhir sebelum kelas pada hari itu dimulai.
Alhasil, saya yang dapat pekerjaan saja sudah bersyukur memutuskan untuk maju terus pantang mundur. Bukan karena saya pemberani, tapi karena mau tidak mau, suka tidak suka, siapapun harus siap menyelamatkan harga diri dan bersikap layaknya pemberani bila sudah dijebloskan begitu saja ke dalam ruang kelas dan berhadapan dengan sekitar 40 orang anak kecil yang sudah siap meremehkan orang dewasa mana pun yang bertanggung jawab atas mereka. Saya menang umur, mereka menang jumlah. Anda tidak pernah membayangkan bagaimana anak kecil dapat mengeroyok mangsa mereka kapan saja dengan mudah.
Jadilah saya, di depan kelas itu, berusaha keras agar diterima oleh makhluk-makhluk kecil yang tidak saya sukai tapi merupakan alasan utama saya bekerja. Bukan alasan secara langsung, sih. Tapi bisa dibilang, 40 anak ini adalah boss saya. Saya yang bertanggung jawab atas pendidikan mereka. Oleh karena itu, saya harus mengajarkan pada mereka apa saja yang saya tahu tentang lingkungan dan kehidupan Jakarta tanpa harus kehilangan wibawa saya sebagai seorang guru.
Karena saat itu tidak ada ide, saya langsung saja membuka buku cetak PLKJ yang diberikan oleh kepala sekolah beberapa menit sebelumnya yang tentu saja belum sempat saya baca sebelum masuk kelas. Awalnya saya ingin memulai dari bab awal, tapi saya memutusan mencari materi apa dari daftar isi yang saya rasa paling gampang dijelaskan. Oleh karena itu, saat itu saya langsung membahas topik tentang kendaraan-kendaraan Jakarta. Saya merasa cukup menguasai bidang itu. Kendaraan dan lalu lintas Jakarta yang menyedihkan sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Dari situlah, saya mulai menemukan rasa percaya diri untuk mengajar anak-anak tentang kendaraan dan lalu lintas di Jakarta. Terlalu percaya diri, sehingga saya lupa bahwa saya pun bukan orang asli Jakarta.
Kepercayaan diri saya itu sedang tinggi-tingginya membumbung ketika salah seorang siswa laki-laki mengangkat tangan dan bertanya, “Bu, kendaraan roda tiga di Jakarta apa aja ya?”
Saya langsung terpikir dengan becak dan bajaj. Becak pernah saya naiki waktu saya kecil meski saat saya mengajar itu becak sudah tidak beroperasi lagi di Jakarta. Bajaj masih jelas sering saya naiki pada masa itu dan masih ada hingga saat saya bercerita sekarang. Oleh karena itu, saya mengambil dua contoh itu untuk menjawab pertanyaan dari murid saya tersebut.
“Bemo juga rodanya tiga kan, Bu?” ungkap seorang siswi tiba-tiba.
Siswi yang satu ini berbeda dengan siswi-siswi lain. Bahkan berbeda dengan siswa laki-laki yang sebelumnya bertanya. Ia tidak mengangkat tangannya sebelum bertanya. Belum diberi kesempatan berbicara, ia sudah berbicara. Ya. Dia adalah Putri Blakblakan.
Lalu saya, yang sebelum kuliah tinggal di Surabaya, memutar otak saya untuk mengingat apa benar bahwa bemo rodanya tiga. Tapi otak dan memori saya saat itu mengatakan, “tidak.” Ya, saya saat itu menjawab tidak, karena saya ingat betul saya sering naik bemo di Surabaya, dan bemo yang saya naiki rodanya empat.
“Tidak, bemo rodanya empat,” saya mempertegas jawaban saya pada Putri Blakblakan.
Mata kecil Putri Blakblakan tiba-tiba membelalak, seolah tidak terima dengan jawaban saya. Lantas ia berkata lagi. Tanpa mengangkat tangan. Tanpa diberikan kesempatan bicara. “Tapi setahu saya bemo rodanya tiga, Bu.”
Muka saya mulai memerah dan kepala saya saat itu panas. Saya tidak mau dipermalukan di depan murid-murid pada hari pertama saya mengajar. Apalagi dipermalukan oleh anak kecil yang menurut saya saat itu, tidak tahu apa-apa dibandingkan saya yang lebih memiliki pengalaman hidup dan mengetahui banyak hal.
“Tidak, bemo rodanya empat, sayang,” ujar saya mempertegas ucapan saya namun berusaha menambahkan kata ‘sayang’ sebagai eufimisme agar keadaan tidak menjadi terlalu tegang.
“Tapi ibu saya bilang dulu waktu dia kecil dia pernah naik bemo di Jakarta dan rodanya tiga,” Putri Blakblakan mempertegas argumennya.
“Tapi ibu juga pernah naik bemo waktu kecil dan bemo rodanya empat,” nada bicara saya saat itu mulai melenceng ke kekesalan. Tapi saya masih berusaha menahan.
“Ibu naik bemonya di Jakarta?” anak itu bertanya lagi dengan nada yang sederhana namun membuat saya kesal. Seolah meragukan kemampuan saya dalam mata pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, yang menurut saya tidak seberapa susah dibandingkan pelajaran matematika.
“Bemo di mana-mana sama saja! Mau di Jakarta, mau di Surabaya, semuanya rodanya empat!” Amarah saya lepas juga. Seisi kelas terdiam memandangi kami berdua. Putri Blakblakan pun diam. Wajahnya nampak belum menerima pendapat saya, tapi ia sejenak menahan dirinya untuk tidak berpendapat.
Saya menghela nafas sejenak, berpikir bahwa saya dapat mengendalikan situasi. “Coba lihat saja di sinetron Si Doel. Mandra mengendarai bemo. Empat kan rodanya?” Saat saya mengucapkan argumen tersebut, terlihat beberapa siswa lain tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan pendapat saya. Saya hampir menang.
Tapi kemudian Putri Blakblakan menyambar dengan lantang, “Tapi yang di sinetron Si Doel itu opelet, Bu. Saya nonton Si Doel tiap hari.”
Wajah saya saat itu merah padam. Anak-anak lain yang tadinya mulai tersenyum dan mengangguki argumen saya tiba-tiba mengubah ekspresi wajah mereka. Bahkan ada anak lain yang mengiyakan bahwa memang benar yang dikendarai Mandra itu adalah opelet.
“Sudah! Cukup! Kalau Ibu bilang rodanya empat, ya rodanya empat! Kalau tidak mau menurut kamu berdiri di luar saja!”
Maka ia pun berjalan keluar kelas dan berdiri di luar melegalkan keengganannya untuk tidak mau menurut pada saya.
Dan demikian Putri Blakblakan adalah murid pertama yang saya hukum karena saya bersikeras bahwa bemo rodanya empat dan dia bersikeras bahwa bemo rodanya tiga. Saat itu, saya belum memahami bahwa kendaraan yang biasa disebut bemo di Surabaya berbeda dengan bemo yang dikenal oleh masyarakat Jakarta. Ya, kalian mungkin berpikir bahwa saya tidak adil, tidak bijak, dan mungkin bodoh karena tidak dapat melihat bahwa hal ini sekedar perbedaan persepsi saja. Tapi ada hal yang lebih mengejutkan daripada sekedar keblak-blakannya dan kekerasan hatinya yang membuat saya sampai saat ini tidak bisa menghargai anak itu bahkan sekalipun dia benar.
Keesokannya, Nyonya Blakblakan, ibunda Putri Blakblakan hadir ke sekolah hendak bertemu dengan saya. Yang lebih parah, ia menghadap kepala sekolah terlebih dahulu dan membicarakan masalah saya dan Putri di depan kepala sekolah. Bu Kepala Sekolah yang mengetahui hal itu langsung memanggil saya ke ruangannya. Saya berhadapan langsung dengan kepala sekolah, Nyonya Blakblakan, dan Putri Blakblakan. Pada saat itu, saya benar-benar merasa dikeroyok.
Nyonya Blakblakan membawa sebuah foto masa kecilnya dengan sopir bemo yang sering mengantarnya berkeliling Jakarta. Di foto itu, jelas bemo tersebut beroda tiga. Kemudian ia memperlihatkan pada saya koran-koran masa lalu yang memberitakan tentang bemo. Foto bemo di koran-koran tersebut juga menunjukkan bahwa bemo adalah kendaraan beroda tiga. Tidak hanya itu, ia bahkan membeli tabloid yang meliput para pemeran Si Doel di balik layar (saat itu Si Doel memang sangat terkenal). Dalam tabloid itu pun ada tulisan yang mencantumkan bahwa kendaraan yang dikendarai Mandra adalah opelet, bukan bemo.
Maka skak mat untuk saya.
Bu Kepala Sekolah menasehati saya bahwa saya harus membedakan istilah bemo di Jakarta dan di Surabaya. Dan karena saya mengajar Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, maka Bu Kepala Sekolah menyarankan saya untuk melihat dari perspektif orang Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa tidak bijak bagi seorang guru untuk menghukum muridnya hanya karena muridnya mengoreksi kata-kata guru yang salah.
Maka tidak ada jalan lain bagi saya saat itu untuk meminta maaf pada Nyonya dan Putri Blakblakan dengan tulus dan ikhlas. Karena memang itu yang harus saya lakukan.
Tapi sejak saat itu saya selalu takut dan berhati-hati dalam mengajar. Segala detail saya perhatikan dengan seksama. Saya tidak mau salah lagi dan tidak mau menanggung malu lagi di depan para pelajar. Sebenarnya pertemuan saya dengan ibu dan anak Blakblakan itu memang menghadirkan hikmah tersendiri bagi saya. Saya jadi sadar bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang penting, bukan main-main belaka. Bahwa semua mata pelajaran harus disampaikan dengan pengetahuan, meskipun PLKJ nampak tidak sesulit matematika. Bahwa apapun yang terjadi, manusia adalah manusia. Kesalahan adalah sesuatu yang lekat dengan manusia.
Tapi tetap saja, pertemuan saya dengan anak dan ibu Blakblakan itu membuat saya merasa tidak nyaman. Karena saya yang tadinya berpikir bahwa dunia ini begitu mudah dan sederhana tiba-tiba menjadi sangat teliti dan seksama akan segala tindakan yang saya lakukan, khususnya dalam melaksanakan pekerjaan saya sebagai guru. Saya tidak lagi mudah dan aman dalam melakukan segala gerak-gerik saya setiap kali mengingat tatapan dan cara mereka menunjukkan kebenaran ke hadapan saya.
Saya berharap saya dapat kembali saja ke kehidupan muda saya di mana saya melihat segala sesuatu dengan muda dan sederhana. Saat itu dunia begitu indah dan mudah ditebak. Seolah-olah kenyataan dengan mudah menampakkan wujudnya secara blakblakan ke kita tanpa perlu saya pikirkan benar atau salahnya.
Tapi sayangnya.... dunia tidak seblakblakan itu. Dan pertemuan dengan Nyonya dan Putri Blakblakan membuat saya terus berpikir.
Canberra, 28 September 2011

4 komentar:

  1. Lancar nih baca postingan kamu, Rima... Menarik sekali... :)))

    Nggak apa-apa kok, wajar aja kalo ada sedikit ragu-ragu, Rima kan belom sempet mempersiapkan diri gitu pas mau ngajar... its oke...

    Coba kalo Rima sempet baca pasti bakalan mantap ngajarnya... Menghadapi 40 orang, eh salah, 40 anak itu bukan tugas yang ringan... Cuma orang-orang yang kuat dan tahan banting aja yang bisa... :)) Rima mungkin salah satunya...

    Aku doain semoga ngajar-ngajar selanjutnya bisa enjoy ya... SEMANGAT!!!!

    BalasHapus
  2. sebenarnya aku bukan tokoh si guru... aku itu... Putri Blakblakan. cuma emang lg berusaha nulis dari sudut pandang si guru. hahahaha.

    BalasHapus
  3. haluuuuu bu guyuuuu... hihihihi salam kenal ya.

    bu guru yang sabar ya.. terutama mengahdapi ibu yang blakblakan itu. anggep aja latian menghadapi murid-murid ibu.. (saya mau dong digurui..hihihi)

    btw, PLKJ itu apa bu?

    BalasHapus
  4. Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta. pelajaran yang aneh di kurikulum masa lalu.

    BalasHapus