Rabu, 28 September 2011

Short Story: Roda (for my Mom's 60's birthday) :)

Roda
Oleh: Rima Muryantina


Kisah ini adalah kisah nyata. Setidaknya saya menyebutnya nyata karena saya mengalaminya. Berawal belasan tahun yang lalu ketika saya masih menjadi guru pemula. Saya mengajar PLKJ. Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta. Apa yang ada di benak pemerintah saat mewajibkan mata pelajaran itu diajarkan di sekolah-sekolah saat itu juga saya tidak mengerti. Saya, sebagai guru, yang tidak pernah berencana jadi guru namun tiba-tiba saja takdir membawa saya ke takdir yang sedemikian, saat itu juga bingung dengan signifikansi mata pelajaran tersebut sehingga harus dikhususkan menjadi suatu mata pelajaran. Saya bahkan saat itu agak heran mengapa mata pelajaran PLKJ tidak digabung saja dengan PKJ bila benar-benar dibutuhkan suatu mata pelajaran yang membuat anak-anak menguasai pengetahuan tentang Jakarta. Sama bingungnya ketika dulu mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dipisah dengan mata pelajaran IPS sedangkan sejarah internasional tetap digabung dengan IPS. Sama seperti saya bingung mengapa bila sudah masuk ke jenjang SMP, tata boga dan tata busana harus dipisah dan mengapa seni lukis dan seni musik dipisah, dan mengapa elektronika harus jadi mata pelajaran tersendiri terlepas dari fisika.
Tapi bukan pembagian mata pelajaran itu yang hendak saya ceritakan dan peributkan di sini. Saya akan menceritakan sesuatu yang sampai saat ini akan selalu saya kenang dan akan selalu menghantui saya selagi saya masih berprofesi sebagai guru meskipun sudah berganti-ganti mata pelajaran. Ini adalah kisah tentang seorang ibu dan seorang anak dari keluarga Blakblakan.
Tidak, saya tidak sedang bercanda. Dan saya tidak salah tulis. Nama keluarga mereka memang Blakblakan. Saya pun tidak mengetahui dari suku di Indonesia bagian mana nama keluarga itu berasal. Yang jelas, bila kita menganggap nama keluarga tersebut memiliki arti yang sama dengan kata ‘blak-blakan’ yang sering kita dengar dalam bahasa Indonesia kontemporer, saya rasa nama tersebut sesuai dengan kepribadian ibu dan anak yang sedang saya ceritakan ini. Mereka sangat blak-blakan. Mungkin bisa dibilang, terlalu blak-blakan.
Seandainya saya tidak pernah bertemu muka langsung dengan mereka atau tidak pernah terlibat dalam beberapa situasi yang mengharuskan saya untuk menghadapi mereka, mungkin saya tidak perlu mengingat-ngingat mereka selama bertahun-tahun sampai-sampai saya merasa wajib menceritakan kisah ini ke orang lain, hanya agar tidak bertumpuk di kepala saya sendiri. Tapi begitulah adanya. Saya pernah bertemu mereka. Dan terlibat masalah dengan mereka. Ibu dan Anak Blakblakan.
Hal itu bermula ketika saya harus mengajar Putri Blakblakan. Sekali lagi, saya tidak bercanda dan saya tidak berniat menghina. Namanya memang Putri dan nama keluarganya memang Blakblakan. Putri Blakblakan, saat itu, sedang duduk di bangku kelas 1 SD. Dan saya saat itu pertama kali mengajar mata pelajaran PLKJ di sekolah yang sama. Dan karena seperti yang kita semua tahu, sistem rekruitmen dan birokrasi di beberapa institusi pendidikan Indonesia sering kali melanggar prosedur, pada hari itu saya langsung dijebloskan oleh kepala sekolah untuk langsung mengajar di kelas 1B. Tanpa pelatihan, tanpa wawancara. Tanpa kesempatan membaca bahan mata pelajaran. Mereka hanya butuh guru untuk mengajar mata pelajaran yang tak pernah diajarkan sebelumnya. Dan mereka menemukan saya pada detik-detik terakhir sebelum kelas pada hari itu dimulai.
Alhasil, saya yang dapat pekerjaan saja sudah bersyukur memutuskan untuk maju terus pantang mundur. Bukan karena saya pemberani, tapi karena mau tidak mau, suka tidak suka, siapapun harus siap menyelamatkan harga diri dan bersikap layaknya pemberani bila sudah dijebloskan begitu saja ke dalam ruang kelas dan berhadapan dengan sekitar 40 orang anak kecil yang sudah siap meremehkan orang dewasa mana pun yang bertanggung jawab atas mereka. Saya menang umur, mereka menang jumlah. Anda tidak pernah membayangkan bagaimana anak kecil dapat mengeroyok mangsa mereka kapan saja dengan mudah.
Jadilah saya, di depan kelas itu, berusaha keras agar diterima oleh makhluk-makhluk kecil yang tidak saya sukai tapi merupakan alasan utama saya bekerja. Bukan alasan secara langsung, sih. Tapi bisa dibilang, 40 anak ini adalah boss saya. Saya yang bertanggung jawab atas pendidikan mereka. Oleh karena itu, saya harus mengajarkan pada mereka apa saja yang saya tahu tentang lingkungan dan kehidupan Jakarta tanpa harus kehilangan wibawa saya sebagai seorang guru.
Karena saat itu tidak ada ide, saya langsung saja membuka buku cetak PLKJ yang diberikan oleh kepala sekolah beberapa menit sebelumnya yang tentu saja belum sempat saya baca sebelum masuk kelas. Awalnya saya ingin memulai dari bab awal, tapi saya memutusan mencari materi apa dari daftar isi yang saya rasa paling gampang dijelaskan. Oleh karena itu, saat itu saya langsung membahas topik tentang kendaraan-kendaraan Jakarta. Saya merasa cukup menguasai bidang itu. Kendaraan dan lalu lintas Jakarta yang menyedihkan sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Dari situlah, saya mulai menemukan rasa percaya diri untuk mengajar anak-anak tentang kendaraan dan lalu lintas di Jakarta. Terlalu percaya diri, sehingga saya lupa bahwa saya pun bukan orang asli Jakarta.
Kepercayaan diri saya itu sedang tinggi-tingginya membumbung ketika salah seorang siswa laki-laki mengangkat tangan dan bertanya, “Bu, kendaraan roda tiga di Jakarta apa aja ya?”
Saya langsung terpikir dengan becak dan bajaj. Becak pernah saya naiki waktu saya kecil meski saat saya mengajar itu becak sudah tidak beroperasi lagi di Jakarta. Bajaj masih jelas sering saya naiki pada masa itu dan masih ada hingga saat saya bercerita sekarang. Oleh karena itu, saya mengambil dua contoh itu untuk menjawab pertanyaan dari murid saya tersebut.
“Bemo juga rodanya tiga kan, Bu?” ungkap seorang siswi tiba-tiba.
Siswi yang satu ini berbeda dengan siswi-siswi lain. Bahkan berbeda dengan siswa laki-laki yang sebelumnya bertanya. Ia tidak mengangkat tangannya sebelum bertanya. Belum diberi kesempatan berbicara, ia sudah berbicara. Ya. Dia adalah Putri Blakblakan.
Lalu saya, yang sebelum kuliah tinggal di Surabaya, memutar otak saya untuk mengingat apa benar bahwa bemo rodanya tiga. Tapi otak dan memori saya saat itu mengatakan, “tidak.” Ya, saya saat itu menjawab tidak, karena saya ingat betul saya sering naik bemo di Surabaya, dan bemo yang saya naiki rodanya empat.
“Tidak, bemo rodanya empat,” saya mempertegas jawaban saya pada Putri Blakblakan.
Mata kecil Putri Blakblakan tiba-tiba membelalak, seolah tidak terima dengan jawaban saya. Lantas ia berkata lagi. Tanpa mengangkat tangan. Tanpa diberikan kesempatan bicara. “Tapi setahu saya bemo rodanya tiga, Bu.”
Muka saya mulai memerah dan kepala saya saat itu panas. Saya tidak mau dipermalukan di depan murid-murid pada hari pertama saya mengajar. Apalagi dipermalukan oleh anak kecil yang menurut saya saat itu, tidak tahu apa-apa dibandingkan saya yang lebih memiliki pengalaman hidup dan mengetahui banyak hal.
“Tidak, bemo rodanya empat, sayang,” ujar saya mempertegas ucapan saya namun berusaha menambahkan kata ‘sayang’ sebagai eufimisme agar keadaan tidak menjadi terlalu tegang.
“Tapi ibu saya bilang dulu waktu dia kecil dia pernah naik bemo di Jakarta dan rodanya tiga,” Putri Blakblakan mempertegas argumennya.
“Tapi ibu juga pernah naik bemo waktu kecil dan bemo rodanya empat,” nada bicara saya saat itu mulai melenceng ke kekesalan. Tapi saya masih berusaha menahan.
“Ibu naik bemonya di Jakarta?” anak itu bertanya lagi dengan nada yang sederhana namun membuat saya kesal. Seolah meragukan kemampuan saya dalam mata pelajaran Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, yang menurut saya tidak seberapa susah dibandingkan pelajaran matematika.
“Bemo di mana-mana sama saja! Mau di Jakarta, mau di Surabaya, semuanya rodanya empat!” Amarah saya lepas juga. Seisi kelas terdiam memandangi kami berdua. Putri Blakblakan pun diam. Wajahnya nampak belum menerima pendapat saya, tapi ia sejenak menahan dirinya untuk tidak berpendapat.
Saya menghela nafas sejenak, berpikir bahwa saya dapat mengendalikan situasi. “Coba lihat saja di sinetron Si Doel. Mandra mengendarai bemo. Empat kan rodanya?” Saat saya mengucapkan argumen tersebut, terlihat beberapa siswa lain tersenyum dan mengangguk seolah mengiyakan pendapat saya. Saya hampir menang.
Tapi kemudian Putri Blakblakan menyambar dengan lantang, “Tapi yang di sinetron Si Doel itu opelet, Bu. Saya nonton Si Doel tiap hari.”
Wajah saya saat itu merah padam. Anak-anak lain yang tadinya mulai tersenyum dan mengangguki argumen saya tiba-tiba mengubah ekspresi wajah mereka. Bahkan ada anak lain yang mengiyakan bahwa memang benar yang dikendarai Mandra itu adalah opelet.
“Sudah! Cukup! Kalau Ibu bilang rodanya empat, ya rodanya empat! Kalau tidak mau menurut kamu berdiri di luar saja!”
Maka ia pun berjalan keluar kelas dan berdiri di luar melegalkan keengganannya untuk tidak mau menurut pada saya.
Dan demikian Putri Blakblakan adalah murid pertama yang saya hukum karena saya bersikeras bahwa bemo rodanya empat dan dia bersikeras bahwa bemo rodanya tiga. Saat itu, saya belum memahami bahwa kendaraan yang biasa disebut bemo di Surabaya berbeda dengan bemo yang dikenal oleh masyarakat Jakarta. Ya, kalian mungkin berpikir bahwa saya tidak adil, tidak bijak, dan mungkin bodoh karena tidak dapat melihat bahwa hal ini sekedar perbedaan persepsi saja. Tapi ada hal yang lebih mengejutkan daripada sekedar keblak-blakannya dan kekerasan hatinya yang membuat saya sampai saat ini tidak bisa menghargai anak itu bahkan sekalipun dia benar.
Keesokannya, Nyonya Blakblakan, ibunda Putri Blakblakan hadir ke sekolah hendak bertemu dengan saya. Yang lebih parah, ia menghadap kepala sekolah terlebih dahulu dan membicarakan masalah saya dan Putri di depan kepala sekolah. Bu Kepala Sekolah yang mengetahui hal itu langsung memanggil saya ke ruangannya. Saya berhadapan langsung dengan kepala sekolah, Nyonya Blakblakan, dan Putri Blakblakan. Pada saat itu, saya benar-benar merasa dikeroyok.
Nyonya Blakblakan membawa sebuah foto masa kecilnya dengan sopir bemo yang sering mengantarnya berkeliling Jakarta. Di foto itu, jelas bemo tersebut beroda tiga. Kemudian ia memperlihatkan pada saya koran-koran masa lalu yang memberitakan tentang bemo. Foto bemo di koran-koran tersebut juga menunjukkan bahwa bemo adalah kendaraan beroda tiga. Tidak hanya itu, ia bahkan membeli tabloid yang meliput para pemeran Si Doel di balik layar (saat itu Si Doel memang sangat terkenal). Dalam tabloid itu pun ada tulisan yang mencantumkan bahwa kendaraan yang dikendarai Mandra adalah opelet, bukan bemo.
Maka skak mat untuk saya.
Bu Kepala Sekolah menasehati saya bahwa saya harus membedakan istilah bemo di Jakarta dan di Surabaya. Dan karena saya mengajar Pendidikan Lingkungan dan Kehidupan Jakarta, maka Bu Kepala Sekolah menyarankan saya untuk melihat dari perspektif orang Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa tidak bijak bagi seorang guru untuk menghukum muridnya hanya karena muridnya mengoreksi kata-kata guru yang salah.
Maka tidak ada jalan lain bagi saya saat itu untuk meminta maaf pada Nyonya dan Putri Blakblakan dengan tulus dan ikhlas. Karena memang itu yang harus saya lakukan.
Tapi sejak saat itu saya selalu takut dan berhati-hati dalam mengajar. Segala detail saya perhatikan dengan seksama. Saya tidak mau salah lagi dan tidak mau menanggung malu lagi di depan para pelajar. Sebenarnya pertemuan saya dengan ibu dan anak Blakblakan itu memang menghadirkan hikmah tersendiri bagi saya. Saya jadi sadar bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang penting, bukan main-main belaka. Bahwa semua mata pelajaran harus disampaikan dengan pengetahuan, meskipun PLKJ nampak tidak sesulit matematika. Bahwa apapun yang terjadi, manusia adalah manusia. Kesalahan adalah sesuatu yang lekat dengan manusia.
Tapi tetap saja, pertemuan saya dengan anak dan ibu Blakblakan itu membuat saya merasa tidak nyaman. Karena saya yang tadinya berpikir bahwa dunia ini begitu mudah dan sederhana tiba-tiba menjadi sangat teliti dan seksama akan segala tindakan yang saya lakukan, khususnya dalam melaksanakan pekerjaan saya sebagai guru. Saya tidak lagi mudah dan aman dalam melakukan segala gerak-gerik saya setiap kali mengingat tatapan dan cara mereka menunjukkan kebenaran ke hadapan saya.
Saya berharap saya dapat kembali saja ke kehidupan muda saya di mana saya melihat segala sesuatu dengan muda dan sederhana. Saat itu dunia begitu indah dan mudah ditebak. Seolah-olah kenyataan dengan mudah menampakkan wujudnya secara blakblakan ke kita tanpa perlu saya pikirkan benar atau salahnya.
Tapi sayangnya.... dunia tidak seblakblakan itu. Dan pertemuan dengan Nyonya dan Putri Blakblakan membuat saya terus berpikir.
Canberra, 28 September 2011

Selasa, 27 September 2011

Things I Wanna Do When Going Back Home

Something happened in the last few days. After contemplating about the meaning of life, I finally rediscovered my purpose of living. I think I lost it somewhere, I can't remember when.

No joking. It's that serious. But I can't tell you. No words could explain it. I don't even plan to write a story or make a film about it. I just want to keep it inside me so that I will always remember it, and I don't have to get through the long exhausting discovery all over again. I got lost. But I found my way out.

So...now I've become more alive after the long contemplation during my one-year study in Australia (Australia is really the place of Hakuna Matata, people always say 'no worries' all the time. I love this country). Thus, I want to list what I want to do when I return to Indonesia after my study.

1. I want to find a settle job. I want to be either a journalist, a linguist, a scriptwriter, an embassy staff, a non-profit organization staff, or a teacher. If possible, I want to be all of them. Then, I want to pay my debt to my parents.

2. I want to learn more about cooking and gardening.

3. I want to learn Arabic, Javanese, and Batak. I want to do a research on these languages. I want to make it my lifetime project.

4. I want to learn more about Al-Qur'an and Al-Hadith.

5. I want to finish my novel

6. I want to write stories for children like Roald Dahl and Dr. Seuss do.

7. I want to do a research on children with language disabilities. If it's not possible, at least I want to help them.

8. I want to participate in some linguistic conferences with my friend, Melody Violine

9. I want to find  a husband and build a family that is sakinah mawaddah warrohmah

10. I want to master chess-playing!!

Those are plans. God decides. So, please help me, God.

Minggu, 04 September 2011

Thoughts On Inspiring Friends: Prof. Arie Sukanti Hutagalung, S.H., M.Li.


Okay, she's not my friend. She's my mom. But she's my friend too. My long-life friend, to be specific. We've been through best and worst moments in life together.

Anyway, the thing is: I miss her. So I'll just babble anything I know that reminds me of her.

1. She was born on September 29, 1951. That means her birthday is coming up very soon. And unlike previous years, I can't be with her in her birthday. My birthday present for her shall be postponed until I finish my study in the ANU (in December, hopefully).  Maybe I'll just write her a short story. Just like what I did for my parents' anniversary.

2. She is THE professor of Agrarian Law. What I mean "the" is the fact that she's one of the only three (or two? CMIIW, Mom) professor of Agrarian Law in Indonesia. She understands something most people in Indonesia don't understand. This is why I could never exceed her. She's too great.

3. She's a very devoted mother. Sometimes it's scary. She loves Dad, me, and my sister very much. Too much that sometimes I think I can't breathe because of her love. But that's what she is, and I love her the way she is.

4. She's nice but different. Indonesian people think she's far too loud in expressing her opinions. I think that's normal. Because most of the time she is right. It's the people who just can't get her. They're too stupid to understand her, perhaps. But yeah, I have to admit that sometimes she's just far waay too loud. That's her weakness, and my weakness too. We both need to learn to shut up. But why shut up when you know you're right? Why letting the stupid people talk as if they knew everything while in fact they don't? WHYYY??? *okay, stop it, Rim*

5. She's too nice sometimes people take an advantage of her. And I hate those kind of people. I hate people who hurt my mother. I wish them a very unhappy life. And may God forgive them, because I won't.

My Favourite Things At The Moment

I randomly want to post my favourite things at the moment. I believe that remembering my favourite things would keep my positivity. I've just lost my grudge towards a group of people because they are now suffering what I suffered for years. During those years, I've kept too much negativity in me. So, since now I don't feel like I need a reason to hate life anymore, I'm trying to maintain my long-lost positivity so that I won't lose it anymore.

So here, we go. The list of my favourite things:

1. I LOVE Islam. I feel grateful for being born as a Muslim. I love The Qur'an. It's the greatest book on earth despite the fact that many people often misunderstand it. I'm planning to explicate some religious concept from the Qur'an with NSM for my Seminar on Semantics' essay. And today I just bought a book on the translation of keywords in Qur'an verses to support my essay. I also have borrowed Toshihiko Izutsu's book on the semantic analysis of some concepts in the Qur'an. He once analyzed those concepts with conceptual semantics theory. I'm trying to make a more intense analysis on the same matter, but via NSM, of course.

2. I LOVE books. Or rather, the things I learn from books. Thus, I really like things that are related to books as well. I like libraries, bookshops, a nice old man who sells books at the ANU Thursday market, goodreads, and so on, and so forth. I used to be a slow reader when I was a child. That's why I've always had more eagerness to read compared to other children. Because I couldn't read as fast as they did, and it always embarrassed me. But whenever I feel like 'into' the content of the book, I guess I can't stop reading. But that depends on what kind of book I read anyway. I usually don't like teenlit books or anything that I consider will not broaden my knowledge.

3. I LOVE listening to music. No, not playing. I can't play any instrument properly. Of course I can play flute, pianica, and a bit of drum. But that's because I was forced to play them when I was in school, otherwise I won't pass the subject. But anyway, I like listening to music. My favourite type of music is rock. But I also like pop, techno, alternative, jazz, country, folk, classic etc... anything. As long as I feel like it, then I like it. That doesn't mean I like every kind of music, though. I can only say I like some musicians, and I might despise other musicians. My favourite musicians are Arctic Monkeys, Radiohead, and... of course SNSD. They're musicians, too. Piss off, antis! LOL.

4. I LOVE languages. I can speak Indonesian, English, Japanese, some German, and some French. I understand very basic Arabic, Batak, and Javanese too. And I'm now learning Gamilaraay, an Aboriginal languge spoken in New South Wales. But I think I'm not fluent in any of them, except for Indonesian, of course. Aside from my interest in learning languages, I also like to analyze languages. And that's why I love linguistics.

5. I LOVE being alone. And this is why I love Canberra. I have too much time for myself. I can go anywhere by myself. I can enjoy the world from my own point of view. No one even protests. I wish I could do the same thing in Jakarta. But if I do that in Jakarta, people will call me selfish. Well, maybe I am (selfish).

6. I LOVE badminton. Again, I'm not a player. Only an observer. But that's how I like it. I miss watching badminton matches. It is not really popular in countries other than China and Indonesia. So sad.

7. I LOVE helping troubled students. Because I think I was once in their position. I want to help people whom are not understood by most people. I want to understand them, because I know how it feels to be not understood. That's why I really want to teach students with learning disabilities. I hope I can do that when I came back to Indonesia.

8. I LOVE journalism. Especially journalism that doesn't take side too much on particular groups. I would like to be able to report news on sports, economics, education, women, culture, environment, and entertainment. But NOT politics. I HATE political news.

9. I LOVE classic literature and a few contemporary short stories. I don't hate contemporary literature. I just feel like I'm more attached to those works by Tolstoy, Neruda, Pirandello, Chekov, Achdiat K. Mihardja, etc. Somehow I can understand those people from the past better than I understand people who live today. Except for Sapardi Djoko Damono and Seno Gumira Ajidarma. They're brilliant.

10. I LOVE things provided for children. No, I don't love children in general. Sometimes they annoy me. But I love children literature (esp. those written by Roald Dahl). And I love dolls, any television program for children, movies about children, etc. The thing I like about my childhood is because people provide me good child stuff. I like child stuff.

Well, that's about it at the moment. Maybe I'll have more things to add later on. If that happens, I'll just edit this post.

Well, nobody reads this blog anyway. And that's how I like it.

Senin, 22 Agustus 2011

A PLAY OF CHEKOV'S SISTER'S MONOLOGUE IN STREET THEATRE IN THIS NOVEMBER!

I just love any seminar from ANU Linguistics Dissemination. I attend the seminars on Monday, Friday, and sometimes on Wednesday. I always got new perspectives about languages and culture from the presenters and also from the audiences who ask questions (sometimes I also ask questions if I'm confident enough that I know some things about the topic discussed. But most of the time I'm happy enough with my part as a good listener. LOL).

However, today is the most interesting seminar I've attended so far. In this seminar, the speaker is Dr. Subhash Jaireth, an Australian writer of Hindi descent. He can speak English, Hindi, and most importantly he can speak Russian. As I'm also really interested in Russian literature (I'm a huge fan of Tolstoy's and Chekov's works), I'm also interested in the fact that Subhash has created a novella called "To Silence," which consists of three monologues from three different people throughout history. One of them, and the most central narrator, is Maria Chekova, Anton Chekov's sister. From Maria's perspective, we're being told about the other side of Chekov's life. So, it's basically a historical fiction, as Subhash said.

And during the seminar, I really love the way Subhash explained about the brief idea of his novella. He's getting emotional when he explained something about how Chekov's ex fiancee was killed in a gas chamber in a Nazi concentration camp. He was really emotional, and it seems like he has blended with his characters. I really love writers who are so into their characters. Subhash doesn't treat Maria Chekova and others as his children  (as I would treat the characters in my stories as my children), but he also feels the pain that the characters suffered throughout their lives. It's something most linguists only know a bit, but true writers would definitely understand. He even nearly cried during the seminar when he read about some parts of his novella, which also touched my heart as a writer.

The book is still in limited edition for now. But I'm gonna wait till Co-Op sell it. Haha. And the most exciting news is this novella is going to be performed as a play in the Street Theatre in late November 2011. Can't hardly wait! I have to see that!

Minggu, 21 Agustus 2011

Short Story: Nenek Pernah Nasionalis


Nenek Pernah Nasionalis
Oleh: Rima Muryantina

Pada suatu hari di sebuah negeri, ditemukan seorang mayat wanita tua di sebuah kamar hotel. Wanita itu ditemukan memegang pistol di tangan kirinya dengan darah bercucuran dari kepalanya yang memang sudah tidak sekokoh kepala gadis-gadis muda yang dapat menengadah dengan tatapan tajam ketika berjalan karena mungkin kepala itu sudah terlalu lama digerogoti pikiran-pikiran yang terlalu banyak sepanjang eksistensinya di dunia ini. Bukan berarti itu adalah hal yang buruk, karena pada dasarnya kepala setiap manusia memang ditakdirkan untuk digerogoti oleh pikiran-pikirannya sendiri. Hanya saja, durasi penggerogotan ini mungkin sudah terlalu lama mengingat wanita ini sudah tidak muda lagi dan mengingat sejak muda pun ia telah menjadi wanita yang terlalu banyak berpikir.

Di tangan kanannya, polisi menemukan sepucuk surat tertulis di selembar kertas wangi berwarna ungu muda yang masih dapat tercium wanginya meskipun sudah bercampur dengan aroma darah yang bersimbah dari kepala sang wanita tua. Polisi menjadikan surat tersebut barang bukti dalam penyelidikan. Mereka berharap dengan membaca surat tersebut, mereka dapat memutuskan apakah kematian wanita tua tersebut benar-benar disebabkan oleh aksi bunuh diri atau mungkin sebenarnya telah terjadi pembunuhan. Berikut ini adalah isi surat tersebut:

Siapapun , tolong sampaikan pesan ini kepada anak-anak dan cucuku

Nenek pernah nasionalis.

Nenek lahir pada zamannya negeri ini sedang diperjuangkan kemerdekaannya. Oleh tangan ayah dan ibu Nenek sendiri. Jadi sejak sebelum ditiupkan roh ke dalam kandungan ibu Nenek pun, rasanya Nenek sudah nasionalis. Ayah Nenek yang mendoakan demikian. Beliau ingin Nenek nasionalis.
Sejak kecil Nenek selalu hormat setiap kali melihat bendera negara ini berkibar. Tidak peduli itu di sekolah, di puskesmas, di depan rumah pejabat yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Nenek, di tempat umum lainnya, di rumah Nenek sendiri, bahkan saat Nenek melihat upacara bendera di televisi. Teman-teman dan tetangga Nenek selalu menertawakan Nenek. Beberapa dari mereka menjuluki Nenek “nasionalis berlebihan.”
Nenek tidak peduli.

Suatu hari Nenek ditugaskan mengibarkan bendera di sekolah. Nenek tidak berhasil karena langkah Nenek tidak serempak dengan petugas yang lain dan benderanya tersangkut di tengah-tengah tiang hingga lagu kebangsaan harus dinyanyikan sekitar tiga kali. Seantero sekolah menertawakan Nenek. Orang tua Nenek bahkan bilang, “Dasar kamu tidak nasionalis!” Rasanya  sakit sekali saat itu. Mereka tidak tahu bahwa Nenek sudah berusaha semampu Nenek.

Lalu seperti yang kalian tahu, Nenek menjalani hidup Nenek dengan cukup baik. Nenek lulus sekolah dan lulus universitas dengan gelar terbaik dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang baik di masyarakat. Nenek senang karena akhirnya dapat berkontribusi terhadap masyarakat. Ya, sesekali memang ada konflik yang terjadi di negara ini. Nenek bahkan sadar penuh bahwa negara ini bukan negara yang sempurna. Nenek diperkenalkan dengan cara untuk mengelabui sesama manusia agar dapat bertahan dalam suatu institusi (mungkin suatu saat cucu-cucu Nenek akan mengerti). Kadang Nenek juga ikut melakukan hal-hal kejam yang waktu kecil Nenek benci. Tapi Nenek tidak peduli karena hal-hal kejam itu pun merupakan bagian dari proses yang Nenek harus lalui dalam berkontribusi terhadap negeri ini. Ya, sebesar itulah rasa cinta Nenek terhadap negeri ini. Maka dari itu, pahamilah kalau Nenek sekali-kali sering berteriak “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian ketika kalian malas ikut upacara bendera atau ketika kalian tidak mau menemani Nenek menyemangati atlet nasional dalam ajang olimpiade. Nenek hanya mengingatkan kalian akan pentingnya nasionalisme. Sama seperti yang dilakukan ayah Nenek dahulu.

Jadi begitulah Nenek hidup dengan nasionalisme Nenek selama bertahun-tahun. Bahkan saat negara ini ditempa beberapa cobaan, baik itu cobaan politis, bencana alam, krisis ekonomi, krisis sosial, konflik antar etnis di berbagai daerah, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Dengan bangganya Nenek mengulang frase “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian, para anak dan cucu, maupun pada generasi muda lain yang Nenek anggap tidak senasionalis Nenek.

Tapi entah kenapa dan entah sejak kapan, Nenek sudah lupa, mungkin juga karena sudah pikun. Yang Nenek tahu adalah beberapa tahun terakhir dalam hidup Nenek yang cukup panjang ini, Nenek merasa hampa dan tidak tahu lagi apa yang harus Nenek cintai dari negeri ini. Nenek pernah begitu bosan dan begitu pesimis menggonta-ganti saluran televisi dan mengomentari semua orang yang lebih muda dari Nenek yang berteriak-teriak tentang nasionalisme padahal Nenek tahu mereka melakukan hal-hal kejam atas nama nasionalisme. Sama seperti yang Nenek lakukan dulu, meskipun Nenek tidak terlalu ingat karena sudah pikun.  Jadi, seolah mengatai diri Nenek sendiri, Nenek menjerit, “Dasar generasi memalukan! Mau jadi apa bangsa ini?”

Lalu beberapa dari kalian, cucu Nenek, nampak tak senang dengan apa yang Nenek katakan. Lalu kalian mengatakan mantra yang dulu sering diucapkan oleh ayah Nenek dan oleh Nenek sendiri. “Dasar tidak nasionalis!” Lalu Nenek merasakan bahwa apa yang tumbuh dalam diri Nenek dahulu telah tumbuh juga di diri kalian. Dan Nenek tidak tahu harus merasa sedih atau bangga.

Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek semakin pikun dan semakin tidak sadar dengan apa yang Nenek lakukan. Bila suatu hari kalian menemukan Nenek melakukan hal-hal yang gila atau menyaksikan Nenek mengakhiri nyawa Nenek sendiri, tolong simpan pesan ini baik-baik. Nenek hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah nasionalis. Meskipun kalian, para anak dan para cucu, sering merasa nenek telah kehilangan itu semua.

Salam hangat
Nenek

                Setelah selesai membaca tulisan tersebut, inspektur yang bertanggung jawab atas investigasi kematian nenek itu pun langsung memutuskan dengan lantang, “Ini bunuh diri.” Ia berjalan melalui beberapa bawahannya yang selalu mengiringinya dan bersungut, “Dasar wanita gila.” Salah satu dari bawahannya memperhatikan kembali surat itu sejenak. Agak ragu untuk mengungkapkan  pendapatnya dan takut mendapat celaan “dasar gila” dari atasannya, si bawahan akhirnya berujar, “Mungkin ini pembunuhan.”
                Pimpinannya menoleh padanya sejenak. Mengernyitkan dahi dan memainkan alis. Menatapnya beberapa menit dengan tatapan yang cukup serius untuk membuat sang bawahan tertunduk. Tapi inspektur tak mengucapkan apa-apa. Meski ia tak terlalu pikun untuk mengingat kata “Dasar gila!” yang bisa saja ia ucapkan kapan saja.

Canberra, 22 Agustus 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

Short Story: Legenda Si Ayam Tertawa

Legenda Si Ayam Tertawa
Oleh: Rima Muryantina

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa yang sejahtera. Penduduknya cukup makmur karena apapun yang tumbuh dari tanah mereka dapat dijual dan uangnya dapat digunakan untuk memenuhi lebih dari sekedar kehidupan sehari-hari mereka. Para penduduk desa tetangga iri pada mereka karena mereka sangat beruntung. Orang-orang beruntung ini lebih dikenal dengan sebutan “Penduduk Negeri Ayam Jago.” Mengapa demikian? Sederhana saja. Di desa yang beruntung itu, ayam jago dianggap sebagai maskot keberuntungan. Setiap tahunnya para penduduk desa megadakan kompetisi sabung ayam jago untuk melestarikan tradisi leluhur mereka. Mereka menganggap tradisi ini membawa keberuntungan bagi desa mereka. Bagi mereka, selama mereka melanjutkan tradisi sabung ayam ini, “Desa Ayam Jago” akan selamanya makmur dan sejahtera.
Karena menjadi maskot kesejahteraan bagi desa tersebut, setiap ayam jago yang lahir di sana memiliki keistimewaan sendiri. Setidaknya, keistimewaan bagi keluarga ayam. Setiap keluarga ayam di desa tersebut akan sangat berbahagia apabila memiliki anak laki-laki. Tentu saja, mereka berharap suatu saat anak laki-laki mereka akan diadu dengan ayam jago lain untuk menjadi yang terkuat dan layak menjadi panutan dan junjungan seluruh warga desa. Ayam jago yang memenangkan kompetisi sabung ayam tahunan akan terpilih menjadi maskot keberuntungan yang dianggap membawa kesejahteraan bagi Desa Ayam Jago. Tidakkah prestasi tersebut sangat membanggakan? Keluarga mana, orang tua mana, yang tidak bangga melihat anak laki-lakinya dapat menjadi pahlwan bagi orang banyak?
Lantas bagaimana dengan yang kalah? Sesuai dengan keputusan para juri tiap tahunnya, ayam jago-ayam jago terbaik yang bertanding dalam kompetisi tahunan harus beradu sampai mati. Ada beberapa babak. Tapi semua ayam jago yang kalah, itu berarti dia telah mati di tangan ayam jago lain yang lebih kuat. Apakah ini menyedihkan? Tegakah sebuah keluarga atau sepasang orang tua mengorbankan nyawa anaknya hanya untuk      menjadi kebanggan dan pahlawan bagi orang banyak?
Jawabannya, ya. Tentu saja, kematian itu bukan apa-apa dibandingkan menjadi maskot yang membanggakan keluarga ayam sekaligus menyenangkan hati para penduduk Desa Ayam Jago. Seperti yang kita semua tahu, manusia menduduki strata tertinggi dalam kingdom animalia karena mereka berhak menamai makhluk-makhluk lain sesuai klasifikasi dan standar yang mereka tetapkan. Di Desa Ayam Jago ini ada sedikit perbedaan. Dalam acara tahunan sabung ayam ini, derajat ayam sebagai penghuni kingdom Animalia menjadi setingkat lebih tinggi dibandingkan manusia. Ini adalah momen berharga bagi para ayam. Mereka menjadi makhluk yang memegang alih kendali dan memperjuangkan kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, tidakkah pertandingan-pertandingan sabung ayam ini layak dibayar dengan darah? Tentu saja. Bahkan ayam-ayam yang kalah bertarung dalam kompetisi ini pun tidak mati sia-sia. Mereka adalah pahlawan bagi manusia dan tentu saja “lebih dari sekedar pahlawan” bagi para ayam. Ayam-ayam yang kalah itu tidak mati. Mereka hanya gugur. Sementara itu, pengorbanannya akan dikenang sebagai sesuatu yang mulia bagi setiap ayam yang ada di Desa Jago Ayam. Lantas apakah hal semulia itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang menyedihkan? Tentu tidak.
Lalu apakah semua ayam jantan yang sudah menginjak dewasa harus mengikuti kompetisi ini? Tidak. Hanya beberapa saja yang mendapat kehormatan untuk terpilih. Semua ayam jago yang terpilih untuk mengikuti kompetisi sabung ayam tahunan dinilai dari sebuah syarat yang sangat sederhana namun tidak mudah. Syarat itu adalah: para ayam jago yang terpilih haruslah para ayam jago yang rajin bangun pagi, lebih pagi daripada penduduk desa mana pun, dan berkokok membangunkan seisi desa. Hanya para perkokok-perkokok terbaiklah yang kelak diperbolehkan mengikuti kontes sabung ayam.
Sejak kecil, semua putra ayam di Desa Ayam Jago dilatih untuk bangun pagi dan berkokok dengan lantang untuk membangunkan para penduduk desa. Tentu saja, suara kokok mereka harus suara kokok yang bagus. Suara kokok yang dimaksud bagus di sini adalah suara kokok yang cukup lantang untuk membangunkan para penduduk desa, bahkan yang termalas sekalipun, tapi juga tidak merusak pendengaran para manusia, yang sebagian besar sebenarnya adalah pemalas, setidaknya di mata para ayam.
Di antara para ayam jago muda yang berlomba-lomba untuk menjadi pekokok terbaik agar kelak dapat bertarung dalam pertarungan suci yang membawa nama baik bangsa ayam di desa tersebut, konon ada seekor ayam jago muda yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya. Satria, nama ayam jago itu. Bukan, bukan orang tuanya yang menamakannya seperti itu. Para ayam  tidak perlu pusing memberi nama anak-anaknya. Mereka akan memanggil semua anak mereka dengan sebutan “sayang” tanpa harus kesulitan membedakan anak yang satu dengan anak yang lain. Pemilik peternakan tempat ia bernaunglah yang menamakannya seperti itu, dengan harapan bahwa Satria akan menjadi ayam jago bersuara paling lantang dan perkasa seantero Desa Ayam Jago sehingga dapat menjadi “ksatria” saat pertandingan sabung ayam tiba.
 Sayangnya, tidak sesuai dengan harapan, Satria tidak memenuhi kriteria sebagai ayam jago yang dapat membanggakan nama desanya. Satria selalu telat bangun. Bahkan lebih telat dari beberapa manusia yang ada di peternakan tersebut. Selain itu, suaranya juga tidak lantang. Sering kali ia mencoba berkokok, tapi hanya terdengar suara terputus-putus yang sama sekali tidak merdu. Bahkan suara Satria lebih terdengar seperti suara orang tertawa daripada seperti suara ayam jago yang gagah. Ia pun terlihat jauh lebih lemah daripada ayam jago lain di peternakannya. Apabila ia dipaksakan untuk diadu dalam sabung ayam, tentunya tak akan memerlukan waktu yang lama untuk menunggu kekalahannya.
Segala kelemahannya sebagai ayam jago inilah yang menyebabkan Satria jadi dikucilkan dan dicemooh di kalangan para ayam jago di desa. “Ayam jago cemen!” seru ayam jago terkuat di peternakannya. “Kamu tak pantas jadi ayam jago!” ejek ayam jago yang lain. “Kamu berkokok atau tertawa?” sindir salah satu ayam jago ketika Satria mulai mencoba berkokok.
Bukannya Satria tidak pernah mencoba untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Kenyataannya, setiap hari Satria selalu berlatih berkokok untuk memperbaiki suaranya. Ia bahkan  berusaha memilih-milih makanan terbaik yang dapat ia makan kalau-kalau itu mempengaruhi keadaan suaranya yang tidak seperti suara ayam jago pada umumnya. Akan tetapi berbagai usaha yang ia lakukan untuk memperindah suaranya tidak pernah berhasil. Bahkan ketika akhirnya Satria sudah berhasil bangun lebih pagi, ayam jago lain melarangnya berkokok karena suara kokokannya justru akan mengganggu keluarga pemilik peternakan.
Satria merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu terhadap orang tuanya yang tetap memanggilnya “sayang” sekalipun berulang kali ayam-ayam lain mengejeknya. Ia malu terhadap pemilik peternakan yang sudah memberinya nama spesial. Apabila pemilik peternakan tempat Satria bernaung ini sama dengan peternak-peternak pada umumnya, pastilah ia sudah memotong dan menggoreng ayam tidak berguna macam Satria untuk menjadikannya santapan yang lebih berguna daripada sekedar ayam yang tak dapat membangunkan majikannya dengan baik dan benar.
Tapi Satria adalah ayam yang beruntung. Pemilik peternakan ini melihat sesuatu yang berbeda dari sejak Satria menetas dari telur yang telah dieram induknya. Ia merasa Satria dapat membawa sesuatu yang baik bagi para ayam di peternakan itu dan bahkan bagi kesejahteraan Desa Ayam Jago. Mungkin ia sama saja dengan peternak lain, memang. Ia juga memotong ayam-ayam yang tidak layak dipertandingkan untuk sabung ayam. Tapi khusus kepada Satria, sang peternak ini memiliki rasa kasih sayang. Lebih dari kasih sayang antara peternak dan hewan ternaknya. Rasa kasih sayang itu sudah bagaikan rasa kasih sayang terhadap anaknya sendiri yang bercampur dengan harapan kelak Satrria akan jadi ayam yang sangat bermanfaat bagi desa mereka. Oleh karena itu, sekalipun Satria sering mengganggu seantero peternakan dengan suara kokoknya yang lebih mirip suara tawa, sang pemilik peternakan tetap merawatnya dan mengistimewakannya dibandingkan ayam-ayam lain. Sayangnya, hal inilah yang membuat Satria semakin dibenci dan dicemooh oleh ayam-ayam lain di peternakannya. Karena ia adalah seekor ayam tak berguna yang tak punya kelebihan apa-apa yang entah kenapa selalu diistimewakan.
*******
Oleh karena itulah Satria berusaha tegar melanjutkan hidup dan berlatih untuk memperbaiki kokokannya sambil menahan rasa malu dan sakit hati karena setiap hari diperolok oleh sesamanya. Ia terus menjalani kehidupan seperti itu sampai pada suatu hari saudara sepupu pemilik peternakan datang berkunjung. Ia memboyong keluarganya. Termasuk istri dan dua orang anaknya. Yang tertua laki-laki. Yang termuda perempuan. Kedua anak ini senang bermain-main memperhatikan sekeliling peternakan. Tapi saat terakhir kali mereka datang berkunjung ke peternakan tersebut, Satria masih terlelap di dalam telurnya. Oleh karena itu, ini adalah kali pertama Satria bertemu dengan kedua anak ini
Ketika ia ditemukan oleh kedua anak tersebut, Satria sedang melatih suaranya agar menjadi suara kokokan ayam yang bagus. Sayangnya yang terdengar malah suara yang terdengar seperti suara tawa yang tiak menyenangkan. Ketika kedua anak keponakan pemilik peternakan datang melintasi Satria yang sedang “tertawa” dengan suara kokokannya, Satria langsung merasa sangat malu dan berhenti berkokok.
“Kenapa berhenti? Ayo berkokok lagi,” ujar si anak laki-laki. Perkataan yang sangat tidak disangka-sangka oleh Satria.
“Suaranya lucu!” ujar si anak perempuan gemas yang dibenarkan oleh anggukan kepala kakak laki-lakinya. “Ayo, ayam! Berkokok lagi!”
Awalnya Satria agak ragu. Tapi melihat kedua anak tersebut sangat antusias menunggu suara kokokannya, akhirnya ia berkokok juga. Masih dengan suara ayam tertawa. Dan ketika anak-anak itu mendengarkan suara tawa Satria, mereka ikut tertawa bersamanya. Ketika Satria tertawa makin keras, anak-anak itu pun tertawa makin keras. Ini berbeda dengan tawa para ayam lain yang mengejek Satria setiap kali ayam malang itu mengeluarkan tawa bodohnya. Anak-anak itu tertawa bahagia dan bertepuk tangan setelah mendengar suara tawa Satria. Si anak laki-laki bahkan mengelus punggung Satria dan memanggilnya “ayam yang pintar.” Si anak perempuan berucap bahwa Satria adalah ayam terlucu yang pernah ia temui. Satria sangat senang melihatnya. Baru kali ini ia mendapat apresiasi atas kokokannya. Saat itu, hampir-hampir ia menangis karena terharu.
*******
            Pada saat makan malam, kedua anak tersebut menceritakan pada orang tuanya, dan juga pada keluarga pemilik peternakan bahwa mereka baru saja bertemu dengan seekor ayam terlucu dengan suara tawa yang menimbulkan perasaan bahagia di peternakan tersebut. Pemilik peternakan langsung tahu dari ciri yang diceritakan, bahwa ayam itu adalah Satria, ayam kesayangannya.
            “Kalian suka Satria? Tidak ada yang pernah suka dengan ayam itu sebelumnya kecuali aku,” tandas sang pemilik peternakan dengan wajah tertegun.
            “Ayam seperti itu sangat disukai di desa kami. Wajar anak-anak menyukainya,” ujar sepupu pemilik peternakan menjelaskan.
            “Bagaimana bisa ayam dengan suara terkekeh-kekeh seperti itu disukai di desa kalian? Aku pun tidak mengerti kenapa aku begitu menyayangi Satria,” sang pemilik peternakan terlihat semakin bingung.
            “Tentu saja bisa. Di desa kami bahkan ayam yang sanggup tertawa paling lama akan dianggap maskot kesejahteraan desa. Kami melakukan kontes ayam tertawa setiap tahun. Sama seperti desamu yang mengadakan kontes sabung ayam tiap tahunnya. Kontesnya akan diadakan dalam waktu dekat,” sang sepupu menjelaskan panjang lebar sambil menikmati makan malamnya.
            Mendengar hal tersebut, si pemilik peternakan langsung tertarik untuk mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa di desa seberang. Mengetahui rencana ini, Satria terkejut dan bahkan berusaha melatih tawanya lebih lama, yang membuat jengkel ayam-ayam lain di peternakan tersebut karena mereka menganggap suara Satria itu jelek dan memalukan dan tidak pantas untuk dibanggakan dan disuarakan terus-terusan. Hal ini menyebabkan Satria semakin dimusuhi oleh ayam-ayam lain di peternakan. Tapi Satria tidak terlalu peduli karena ibunya tetap mendukungnya seperti biasa, begitu pula dengan keluarga pemilik peternakan dan keluarga sepupu pemilik peternakan yang terlihat amat antusias mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa.
            Satu hal yang membuat Satria bimbang adalah keengganan ayahnya untuk langsung mendukung tindakan Satria kali ini. “Bukannya ayah tak bangga padamu. Tapi ayah akan jauh lebih bangga bila kamu dapat bertarung dan berkorban nyawa untuk desa ini. Itu jauh lebih mulia daripada tertawa untuk desa lain,” ujar sang ayah jujur kepada putranya, yang tidak pernah ia beda-bedakan dengan putranya yang lain karena bagi para hewan, sejelek apapun mereka, anak tetaplah anak.
            Satria, karena telah terbiasa menghadapi para ayam yang berseberangan dengannya sepanjang hidupnya, mewajari sudut pandang ayahnya kali ini. Tapi ia pun mengutarakan sudut pandangnya bahwa ia sudah tidak sanggup berusaha berkokok dengan cara yang berbeda dengan cara kokokannya. Ia sudah putus asa untuk berusaha keras menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan ia melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dengan menjadi dirinya sendiri. Ia tak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini sebelumnya. Dan atas alasan itulah, sang ayah dapat berkompromi dan mengizinkan putranya mengikuti kontes ayam tertawa.
            Akhirnya Satria pun mengikuti kontes ayam tertawa. Di kontes tersebut, ia bertemu dengan ayam-ayam yang jago tertawa, sama seperti dirinya. Tidak, mereka tidak memandang rendah ketika bertemu Satria. Mereka saling menyapa, mengajak Satria bercanda, dan berusaha membuat kondisi yang nyaman bagi semua ayam yang ada, termasuk Satria. Ketika Satria bertanya mengapa mereka begitu baik padanya, padahal baru saja mengenal, seekor ayam lain menjawab, “Kita akan tertawa lebih lama bila kita mengingat hal-hal yang membuat kita bahagia. Jadi kita harus selalu saling membuat bahagia agar dapat memberikan tawa terbaik di kontes ini.”
            Termotivasi dengan kebaikan hati para ayam lain, Satria pun tertawa sekeras mungkin. Dengan suara aslinya, tanpa berusaha menjadi orang lain. Ia tertawa begitu lama saking bahagianya. Ia tak pernah merasakan kebahagiaan begitu menari-nari dalam dirinya sebelumnya. Oleh karena itu, ia terus tertawa. Jauh lebih lama daripada tawa ayam-ayam lain. Saat ayam-ayam lain sudah menyerah, ia tetap tidak lelah tertawa karena rasa bahagia itu masih terus menari-nari dalam dirinya.
Satria terus tertawa hingga petang. Satu-satunya yang membuatnya berhenti tertawa hanyalah suara tepuk tangan para penduduk desa yang sangat bangga melihat kegigihannya dan suara sorak sorai ayam-ayam lain yang sudah kalah tapi terus mendukung Satria. Sorak sorai itu begitu meriah dan ramai sampai-sampai Satria tertegun tak percaya. Dari kejauhan, ia melihat majikannya, sang pemilik peternakan dari Desa Ayam Jago, menitikkan air mata bahagia dengan wajah penuh keyakinan dan bangga pada ayam kesayangannya.
*******
            Satria telah menang. Ia membawa pulang pita penghargaan yang dikalungkan ke lehernya. Ia menjadi pahlawan di desa seberang meskipun ia tidak berasal dari sana. Sesampainya di peternakan tempat asalnya, ia disambut dengan berbagai reaksi. Kedua orang tuanya, tetap bangga padanya, seperti biasa. Ayam-ayam lain, ada yang berbalik mendukungnya. Ada yang penasaran seperti apa kontes ayam tertawa. Para ayam yang bersuara tidak terlalu bagus seperti dirinya terinspirasi untuk turut berusaha mengikuti kontes ayam tertawa. Ada yang diam-diam sebenarnya selalu mendukung Satria dan baru berani menunjukkan dukungannya ketika keadaan menjadi lebih baik. Ada pula yang justru berniat untuk pindah ke desa lain saja karena sebenarnya takut untuk bertarung pada saat kontes sabung ayam. Dan di antara semua itu, jumlah yang paling banyak tentunya ayam-ayam yang masih membenci Satria, atau justru semakin membenci Satria karena menganggapnya merendahkan derajat para ayam dengan membuat seolah-olah terkekeh-kekeh itu lebih baik daripada berkorban nyawa.
            Satria menerima semua perbedaan tersebut tanpa merasa yang dilakukannya lebih tinggi daripada yang dilakukan ayam-ayam lain. Dan pertandingan sabung ayam tetap dilaksanakan karena masih banyak yang menghargai nilai-nilai bersejarah dari pertandingan tersebut. Tapi Satria tidak kecewa. Karena pada akhirnya ia memiliki kesempatan untuk dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa harus berusaha terlalu keras untuk menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan sejak saat itulah, Satria menjadi salah satu legenda di antara para ayam di desanya. Meski mungkin bukan legenda yang paling disukai semua ayam.

Canberra, 7 Agustus 2011

Sabtu, 30 Juli 2011

My Life Since Australia

Hisashiburi da na....

I didn't stop blogging. I just haven't had any idea to express in English so I often use my other blog to express my feelings in Indonesian. Besides, no one reads this blog anyway, and I have some other things to do since I'm doing my master program at the moment at the Australian National University.

My life in Australia has been fun in general. It's too fun that sometimes I wish I could move permanently to this country, marry an Australian, and change my nationality (seriously). Lately Indonesia has made me feel disappointed. I don't know. It's just too much for me. The politics, the people (who are getting more rude everyday, you'll know what I mean if you live in Jakarta), the entertainment (which getting worse everyday. I can't even call it entertainment), the environment (which is getting more and more polluted as more and more people are getting more environmental-unfriendly), the education (which is also getting worse since too many people seem to allow plagiarism, cheating, or anything opposing the academic ethics), etcetera, etcetera. So it's so much better here, in Australia. And I consider Australian people are some of the luckiest people in the world. They should be thankful for that. LOL.

I really envy the fact that they got a surprising economic development (beating the USD currency is not an easy task), political stability (well, there ARE problems in this country. but the government still can handle them neatly), world-class education (lucky me, being taught by some Australia's best academicians), beautiful environment and nature (and people still care to protect the environment), and not to mention, they also have the nicest people in the capital city. I can't tell you enough how nice and friendly people in Canberra are. I shall say that they're one of God's better people. Even though some people might consider them as boring, but I've never been treated that nice by people in my own country.

But you know, sometimes you cannot have everything you ask for. There must be some things you cannot achieve. In my case, I've lost so many opportunities in this life. Sometimes it's because of me. Sometimes it's because of other people. But most of the time, it's simply because it is not meant to be. I believe in fate (even though some non-believers might call me too pessimistic), and sometimes good things don't happen and bad things happen because God wants it that way. Not because God hates us. But it's because it CAN'T NOT happen that way (I remember the Wierzbicka's NSM theory when I write this. LOL)

So I shall learn to accept the fate that I can only spend one year in Australia, and I have to find a suitable job and earn some money to repay my debts to my parents (they're the ones who pay my tuition fee because there's no scholarship for linguistics major. That's what I call "fate" anyway).

I still keep my love for linguistics, and I still dream to be a linguist. But it's gonna be tough, I know. I used to think that every dream should be pursued. But some dreams are just too far from reality. Being a linguist is not as easy as what everybody says. Especially when you live in Indonesia. A country with a wide range of variety of languages but only has a very few number of linguists compared to linguists from other countries. People in Indonesia don't appreciate linguistics as much as they do for economics. Not saying that I hate economics because of that. Only stating that I'm aware of this fact, and thus I know that I still have a very long and winding road to be a linguist.

Wish me luck, then. If no one does it, I'll wish luck for myself anyway. LOL.

Jumat, 04 Februari 2011

On Supercalifragilisticexpialidocious: Morphologically Amazing



You know that there are people who suffer from many phobias when they were kids. I think I was probably one of them. I'm afraid of many things: water, fire, height, trains, dirt, I guess I used to be afraid of almost everything in this world. One of my childhood phobias was the fear of long words, or what is named: hippopotomonstrosesquippedaliophobia.

I used to be afraid that I cannot remember long words and that it wastes my time to pronounce them correctly yet I have to be able to do that in some cases. But this fear I used to suffer was not as bad as my other fears. I'm  triggered to recall and pronounce long words correctly due to some childhood movies I've seen. One of those childhood movies is Mary Poppins.

Yea, that one. That "supercalifragilisticexpialidocious." And to be honest, when I was a kid, I can never recall and pronounce the word correctly (I even have no idea that it is an "invented" word that cannot be found in the dictionary. Yes, I was such an innocent girl). 

Now, that I have learned morphology during my college years and after having the original DVD of Mary Poppins that makes me easier to rewind the scenes whenever I missed what Julie Andrews and other casts say, I remember and can pronounce and spell the word pretty well. 

I like this word, to be honest. I'd say that it's morphologically cute. Why is that? Because it consists of English free morphemes and bound morphemes, but when you combine them together, it doesn't follow the rules of English morphology. Semantically, it seems that the word doesn't mean anything as the characters of the movie say, "it's the word you say when you have nothing else to say."

But you see, when you separate the morphemes together (either the free or the bound ones), they do have meanigns, actually. You'd sound familiar with "super", the bound morpheme "calli" (from the word calligraphy), "fragile", the bound morpheme "istic" (from the word optimisitc, pessimistic, and other similar adjectives), "expiate", and "docious." Even the filmmaker himself said that this word blending actually carries meaning: "Atoning for educability through delicate beauty." Even though, I still cannot tell you why the word with this meaning should be able to help you to express things you hardly express.

But the point is.... I was amazed with this word-invention of Supercalifragilisticexpialidocious. This shows how creative humans are and how magical a language is. You don't have to strictly follow the rules of language just to express your feelings. You can express all your feelings with either words in dictionary or words you create yourself. Even more magical, you can express your feelings even if you yourself don't even understand the feelings. This shows that your words know you better than yourself. This shows that language is definitely beyond the speaker.

And that makes me even more amazed by the power of linguistics.

Rabu, 26 Januari 2011

Thoughts On Inspiring Friends: Dita, Gerry, Affa, Apel, Vivi

I decided to write something about these wonderful people because I've been touched by true and sincere friendship they have shown me. These fellas came to the airport to accompany me at my departure to Australia. Unfortunately, they're a little bit late (they arrived at the airport when I was boarding, so they couldn't see me for the last time). I'm really sorry that I can't meet these tremendous pals for the last time, so I'm gonna dedicate this post for them. For me, each of them is so inspiring. Let me introduce you to them and let me know why I chose them as one of my inspiring friends.

So here they are:


From left to right: Affa, Apel, Vivi, and Gerry

Why are they special?

1. Affa is very good at designing, especially in designing anime-like characters. You can visit his DeviantArt here to see his works. Not to mention he just gained his Bachelor of Engineering degree, majoring in Architecture. I really believe that he could be a succesful architect someday. I have no doubt on his art talent. But what I like about him the most is the way he sees life in a very simple and realistic way. One of my other inspiring friends, Dita, once said that Affa's perspective in life is even greater than Mario Teguh's golden ways, and we insist that he should have his own show to beat Mario Teguh's popularity. And Affa, gave a really cool reply by saying, "Showing wisdom is the sign of the reduction of the wisdom itself. So, never create a show."

2. Apel is another Bachelor of Engineering majoring in Architecture. She has a very sweet personality that everybody couldn't resist. Not to mention, she is cutely attractive, according to some of my male friends in highschool. I, myself, consider her as one of the kindest person I ever met. She's also good at photography and designing photo manipulation. You can see her artworks here.

3. Vivi. She's also one of the nicest people I ever met. She graduated from Japanese study program and I envy her for that! Haha. She knows quite a lot about Japan and very independent because she's currently working at the airport from Monday to Saturday. Tough job, man!

4. Gerry. He's one of the bestest friends I ever had! The wonderful thing about him is he befriends me unconditionally, and vice versa. He's also an expert at gadget stuff. Mark my words.

And last but not least, the most amazing friend anyone would probably know: DITA NISSA PRADANI



Why is she special?

Dita has the most hilarious jokes I ever heard/read (since she usually gave her best jokes via twitter). Her jokes are the representations of her point of view, which I describe as the combination between cynicism, fatalism, honesty, beauty, fun, and "the art of letting go because life just needs to be this way." Listening to/reading her jokes somehow motivates me more in accepting life the way it is and continuing it whatever it takes. Here are some of the examples of her jokes. Be careful with context. You might not understand what she meant if you dont know the context but once you're getting contextual, you'll find these amazing.

"Saking laparnya, sampai2 kalau saya ini Zulaikha, saya akan tetap memilih Indomie daripada Yusuf a.s." (I'm so hungry that even if I were Zulaikha, I would choose noodles over Prophet Joseph)

Question: When will you get married?
Answer: Look! There's a bear! *distracting attention

I learn many great things from literature. I finally found out that if you can get porno, why bother being scientific.

If you're Indonesian, follow her twitter @ditanp. You'll know why I told you that she's hilarious.

In short, I love these friends. They are beautiful and unique in their own ways. Really inspiring. I will never forget you, guys. We might be separated by the sea, but I'll always remember how you made me smile. And friends are one of the few things I miss from Indonesia.

Kamis, 13 Januari 2011

On Indonesia's Help for Australia: The Symbol of Solidarity

Among anything I could be impressed with, I'm always impressed the most with the sincerity of human beings helping each other. Sometimes we all are just full of ourselves, with our own happiness and misery, that we forget that other people also feel what we feel. So, if people help other people simply because they sympathize with what those other people feel, it will sound very encouraging for me, who's been lately viewing the world in such an apathetic way.

So here is the good news I got from Indonesia. Our government said on Wednesday (January 12, 2011), that Indonesia planned to donate S$1.29 million to help victims of the devastating floods that struck northeastern Australia this week. Foreign Ministry Spokesman Michael Tene said that this donation were made because Indonesia sympathized with situation in Australia.

"The Australian government and people have helped us when we faced disasters and we too have helped them before. This is an example of good relationships and solidarity between us," he added.

Surely, I remember how Australian government and people have helped us when we're facing Tsunami disaster in 2004, Yogyakarta earthquake in 2006, Tsunami in Mentawai 2010, Merapi 2010, and many other disasters I haven't mentioned. And I also understand if some of us might look at it cynically by saying, "how come Indonesia help such a rich country like Australia?" Or some of us might look at it as just a part of solidarity between two countries that are tied politically (But so what? Even if we are not tied politically with them, Australia still needs help anyway. And we must help those who's in need of help).

But this is not about the rich help the poor. This is about humans helping each other without particular reasons and the only reason is just "human nature." At least, Indonesian government has shown their good deeds towards our neighbouring country and enhance the friendship and solidarity between Indonesia and Australia.

So, even though some of us might think that Indonesia is such a poor and helpless country, or that it is difficult for Indonesians to contribute significantly for the world's better future, I'm thankful enough that we still have that sincerity to help our fellow friends, Australia. Sympathy, sincerity, solidarity, humanity, and friendship are values I thought I hardly find in Indonesia nowadays. But maybe I was wrong. I'm still seeing it today.

Source: AFP

Selasa, 11 Januari 2011

On Code Switching/Code Mixing in Indonesia (Don't exaggerate, people)

Code switching and code mixing are two linguistic phenomenons that often happen in Indonesia. Ironically, these two "ordinary and daily" phenomenons often become the basis of judgment towards other people in Indonesia. As you know, sometimes your language is one of the indicators for other people to put you in particular position in the society. And one of the most popular indicators to support this language indicator in Indonesia is by judging how and how much you apply code switching and code mixing in your utterances.

Okay, to make it easier to understand, I'll explain first about what code switching and code mixing are. In short: code switching is the switch from one language in one complete utterance to another language in another complete utterance. For example, these are sentences taken from Cinta Laura Kiehl's official blog:

How are you all?? At last I'm posting again!! :D
Blog ini rusak 1 bulan. 


Now, that's called code switching because from one complete utterance "At last I'm posting again!!", she turned the language from English to Indonesian: "Blog ini rusak 1 bulan" (There have been some technical problems with this blog for one month).

So, what's the difference between this and "code mixing"?

Code mixing is if you mix more than one language in one complete utterance. For example, this is the sentence taken from President Susilo Bambang Yudhoyono's speech:

Inilah yang mendongkrak perekonomian kita sekarang ini, dan insya Allah growth itu akan menjadi lebih sustain.

Here, he mixes Indonesian with Arabic (Insya Allah/If God willed it) and English (growth, sustain) in one complete sentence.

I took Cinta Laura's and President SBY's sentences as the examples because they're infamous for their code switching and code mixing attitude. What I need to underline is that I know that most people in Indonesia criticize public figures if they overuse code switching and code mixing. I know the two phenomenons are also considered as the indicators of the lack of language ability. I also admit, that the incompetence of "switching at the right part of the utterance" IS one of the indicators that one's language ability is not fluent.

Let's use Cinta Laura's and President SBY's utterances as examples. I'll use new sentences in code mixing form, to be fair (because if we use Cinta's code switching vs. SBY's code mixing, it won't be fair. Code switching demands more fluent language ability than code mixing).

Cinta Laura wrote on her blog:

"Premiere-nya tanggal 8 April so please check it out."

 She mixes Indonesian and English in this utterance. Let's see whether she does it correctly or not.
1. Premiere-nya  here means "the premiere." If we refer to formal Indonesian (Bahasa Indonesia EYD), it is incorrect, because -nya in Indonesian is a possessive pronoun for third person (his/her... ). But in informal Indonesian, this is tolerable because most Indonesians in informal situations may use -nya for the same purpose as English uses "the."
2. Her switch from Indonesian to English is proper enough. Because she explains about one idea first (The premiere is on April 8) in Indonesian, then she moves to another idea in English (So please check it out).
3. The only mistake is only in the punctuation for she doesn't put the comma or period between "8 April" and "so." She doesn't even add a comma between "so" and "please." However, this is just a "normal" mistake, since even English native speakers often neglect such punctuation.

Now, let's check out Mr. SBY's speech:

Tapi, kami pemerintah mengatakan, it is achievable, bisa dicapai.

1. In formal and written Indonesian, we cannot use "tapi" (but) in the beginning of the sentence. However, since this is a "speech" instead of "writing", I guess it is still acceptable to use "tapi" in the beginning of the sentence.
2. Then, after stating one idea (The government said) in Indonesian, he switches it into another idea (It is achievable) in English. This is the right placement for code mixing, actually.
3. However, he then switches again into Indonesian. He said "Bisa dicapai" and this phrase carries more or less the same meaning with "It is achievable." Again, he translates it correctly. Only, stating the translation of his previous phrase in one utterance is actually very redundant and not necessary. Moreover, it may confuse some people who listen to him (and if they need to take notes on what he said. In this case, reporters). 

So, judging from the sentences above, I shall say that Cinta Laura's ability in code mixing is a little bit better than President Susilo Bambang Yudhoyono. This implies that Cinta Laura Kiehl somehow shows greater fluency in both English and Indonesian, compared to Mr. President. Still, this judgment is not fair enough because Cinta was raised as a bilingual. Code mixing may have been her daily activity since she was a kid.

Well, my opinion about this? Unlike most people in Indonesia who humiliate Cinta Laura's and President SBY's habit of code switching and code mixing, I shall say that this is an ordinary phenomenon. In other words, what they do is absolutely NORMAL. For me, those who exaggerate on this kind of issue are even more abnormal than Cinta and President SBY. Why minding other people's language? Language is the unique representation of its speaker. You cannot force other people to speak or write the way you do, even if you use the same language as theirs.

Besides, Bahasa Indonesia itself is a Lingua Franca, the mix between languages that is used by people with different languages to interact each other (in this case, the language is used by the traders from different mother tongues to interact in Nusantara centuries a go). It is no wonder if the language will be easily affected by foreign terms. Moreover, some foreign terms are hardly to be translated into Indonesian. In this case, code switching and code mixing are some ways to make our words easier to understand.

And even if sometimes Cinta and President SBY switch or mix codes inaccurately, IT IS ALSO NORMAL. Why? Because you don't need to be a third-culture celebrity who is disliked by many and you don't need to be a president with many political opponents just to fail code switching or code mixing.

What I'm trying to say is, sometimes we ALL fail code switching and code mixing, whether you realize it or not. You hardly find Indonesians today use the formal standard of Indonesian language (Bahasa Indonesia dengan Ejaan yang Disempurnakan/EYD). You hardly find Indonesians today use ONLY Indonesian in their daily conversation and even in their writings. Most of them must have done some code mixing and code switching during their daily activities.

In addition, I really understand that if you already hate and dislike people, you will find thousands of ways to humiliate them (including mocking their language). And again, I think this is also a NORMAL phenomenon. This exaggerating mockery is absolutely NORMAL for me. Especially if you live in Indonesia.

Kamis, 06 Januari 2011

On The Author is Dead: Unfortunately, I Am Not Convinced

Hi, readers. I just want to say, that I disagree with Roland Barthes' idea on the death of the author. Yea, I accidentally studied literature during my undergraduate years and they kept convincing me that the most modern kind of literary criticism is the New Criticism. The one neglecting the author's influence on the text they've written. It's because Barthes' idea suggesting that it is not objective to criticize the work of literature by involving the writer's background and point of view. What should be criticized is the text itself.

Unfortunately, Mr. Barthes, I am not convinced.

And Mr. Bathes' idea, is the one I kept on fighting against during my college years back then. I'm still against it until now.

Previously, long before college, I'm a writer. I write stories, poems, essays, anything I want to write. And I can tell you that I believe most "TRUE" writers don't have any particular obvious purpose in writing. We just want to write what we think and what we feel because it is much better to express them in writings than in any other ways in delivering our messages.

Thus, our writings are parts of us, the writers. Writings were born from their writers. You cannot easily separate writings from their writers. Neglecting the author's background or in other words "killing the author" in your criticism, is a humiliation of the nature of writing. Even if it's in the name of objectivity, I'm still against it. Because everyone is subjective when it comes to personal ideas and feelings. And the writing of literature is the personal connection between the text and the author. If you try to make it scientific, you ruin the beauty nature of writing.

If you criticize or interpret literary works in this way, your critics and interpretation will ruin the world that has been created by the author in the text. For example, I've read many interpretations on Seno Gumira Ajidarma's Wong Asu. Most of them exaggerate on the sexual parts of the story. Even Djenar Maesa Ayu tried too hard to create her Wong Asu version in a more sensual way. I guess they're just too much. Seno Gumira, as we all know, is a reporter. He reports news, deals with many people DIRECTLY, and creates stories about those people he's dealing with. He's not a biology teacher or a porn magazine provider who wants to teach you about sex. He wants to tell you about humans' lives. Moreover, he writes in the end of the story "Sayangilah Anjing, Sayangilah Sesama Makhluk Tuhan." (Love Dogs. Love Fellow God's Creatures). So I guess he already CLEARLY concludes his purpose in writing the story. If people neglects this message he writes (even if it is WRITTEN on the text), just because they believe that "the author is dead" and finally lead them to some irrelevant interpretations, then what is the purpose of literary criticism then? To understand literary works just as you please?

As a linguistic-addict who is interested in pragmatics the most, I always believe that we cannot simply translate utterances from utterances themselves. There is context connected to every utterance produced. We cannot neglect this context, otherwise we will not get the message of the utterance, or worse, wrongly interpret the message in the utterance.

This also applies in understanding literary works. If you don't know the context of the text, you will be "lost in the text" itself. So you must know something beyond the text. Author is just one of the things that you cannot separate from the text even though it "seems" to be separated.

Rabu, 05 Januari 2011

On Javanese Registers: Much More Complicated Than Social Statuses

Today I discuss a few things on Javanese language with my friend, Taufiqur Rizal. I would like to know a few things about Javanese language because I want to create some characters in my novel whose background is Javanese. Thus, I would like to know more about the Javanese grammar, which is famous for its complexity on registers (formal/informal) and politeness degree.

Since I'm a type of person who wants to share everything I know (imagine how generous I am in the real life *LOL), I would like to share some information I know about Javanese language to all of you, especially to those of you who are not Indonesians and who are interested in learning more about Indonesia.

Javanese language is a language spoken by people in the Island of Java, Indonesia. It is the most populated island in Indonesia, where Jakarta, the capital city of Indonesia (which is also my hometown) is located. However, I must inform you that most of Jakartans don't use Javanese as their daily language (we, Jakartans use Bahasa Indonesia mixed with Betawi language and foreign languages). Similarly, people in West Java don't use Javanese language; they use "Sundanese" instead. Javanese language is originally spoken in Central Java, Yogyakarta, and East Java (though some Javanese people might move to other areas in Java like Jakarta and other areas in other islands and spread their language there).

The Javanese language (according to my mom who's from a Chinese-Javanese descendants, my Javanese friends and other sources), consists of three registers: Krama, Madya, and Ngoko.It is often misunderstood that these registers only distinguish social statuses. In fact, the differences are much more complicated than that.

Krama: It is spoken in formal situations. Most of Javanese nobles (those who live in Keraton) still use this register today. It is considered as the most polite register among the three. It is also spoken from younger people to the elders, from subordinates to bosses, or from juniors to seniors.

Madya: It's the less polite register compared to the prior. We use Madya if we want to be neither too formal or too informal. For example, when we want to talk to strangers we meet on the street (since we don't know their age, status, or other related backgrounds).

Ngoko: The most impolite register among the three. We usually use Ngoko with friends or people who are close to us. It is also used by people from higher status when talking to those from lower status (e.g. elders to youngers, bosses to subordinates, etc).

In short, the use of these registers are much more complicated than just distinguishing social statuses. It is not like the difference between received pronunciation and cockney accent in UK. Even some noblemen will use "Ngoko" when they're angry. And children from lower status should use Krama when they talk to their parents, teachers, or other people they respect.

Understanding more about these registers makes me more interested in Javanese language than before. I want to discuss more about it in my novel. Wish me luck.

Minggu, 02 Januari 2011

Thoughts on AFF and Indonesia vs Malaysia Confrontation

Happy New Year, everybody. And congratulation, Indonesian national football team for the very good performance on AFF Cup. Congratulation, Malaysia for winning the cup. I know this topic is so yesterday, but I haven't had time to say thank you to my three favorite teams in this year's AFF cup: Indonesia, Philippines, and Malaysia. You guys have shown us a world-class game (I know, it's not as fabulous as the Premiere League, Champions League, or World Cup matches. But I'm impressed with the last 4 matches of the competition. And I'm not easily impressed, believe me).

As about the AFF Final's controversy, I didn't take side on any team. My nationality rate is very low, I just wanted to enjoy the games. I have to admit that Malaysia played much better than Indonesia in the finals. It's unfortunate indeed because in fact Indonesia has more potentials to win the cup (according to statistics, of course. They won more matches, scored more goals, less fouls, compared to other countries). And yes, I do have to admit that Malaysian supporters in Bukit Jalil were not supportive at all. But what Indonesians did on the twitter was also another way to ignite quarrels. So I'm not proud of either of them.

I know that Indonesia and Malaysia have been against one another since 1960s when Soekarno considered Malaysia as a "British puppet" (forgive him, dear Malaysians. He was a great man after all). Things have gone much better between the two countries during Suharto's New Order, but since late 1990s, there raised again a conflict related to torture on Indonesian maids in Malaysia. After that, there's an issue on cultural heritage competition. Not to mention the issues on national borders and claims on islands. We've been through a lot like brothers hating each other. And now we got the football issue to complete our confrontation list.

This is weird, because in fact Indonesians and Malaysians have many things in common. They were both colonized by West Europeans for centuries. The root of their language is the same. They share many cultural similarities. They both came from the same race. The majority of them are Muslims. They basically share similar ways of life.

However, maybe this is the law of the nature that the more we share similarities with people, the more we are close to people, the more we are involved in confrontation against them. It's like hating your own self, and I know exactly how it feels.

Very well, I know I have no right to talk much about this. But when I see people fight, cooperate, fight, and cooperate again, I cannot think of any word to describe it other than "Love." Yes, I guess there's a very passionate love between Indonesia and Malaysia.

Kill me now.