Senin, 22 Agustus 2011

A PLAY OF CHEKOV'S SISTER'S MONOLOGUE IN STREET THEATRE IN THIS NOVEMBER!

I just love any seminar from ANU Linguistics Dissemination. I attend the seminars on Monday, Friday, and sometimes on Wednesday. I always got new perspectives about languages and culture from the presenters and also from the audiences who ask questions (sometimes I also ask questions if I'm confident enough that I know some things about the topic discussed. But most of the time I'm happy enough with my part as a good listener. LOL).

However, today is the most interesting seminar I've attended so far. In this seminar, the speaker is Dr. Subhash Jaireth, an Australian writer of Hindi descent. He can speak English, Hindi, and most importantly he can speak Russian. As I'm also really interested in Russian literature (I'm a huge fan of Tolstoy's and Chekov's works), I'm also interested in the fact that Subhash has created a novella called "To Silence," which consists of three monologues from three different people throughout history. One of them, and the most central narrator, is Maria Chekova, Anton Chekov's sister. From Maria's perspective, we're being told about the other side of Chekov's life. So, it's basically a historical fiction, as Subhash said.

And during the seminar, I really love the way Subhash explained about the brief idea of his novella. He's getting emotional when he explained something about how Chekov's ex fiancee was killed in a gas chamber in a Nazi concentration camp. He was really emotional, and it seems like he has blended with his characters. I really love writers who are so into their characters. Subhash doesn't treat Maria Chekova and others as his children  (as I would treat the characters in my stories as my children), but he also feels the pain that the characters suffered throughout their lives. It's something most linguists only know a bit, but true writers would definitely understand. He even nearly cried during the seminar when he read about some parts of his novella, which also touched my heart as a writer.

The book is still in limited edition for now. But I'm gonna wait till Co-Op sell it. Haha. And the most exciting news is this novella is going to be performed as a play in the Street Theatre in late November 2011. Can't hardly wait! I have to see that!

Minggu, 21 Agustus 2011

Short Story: Nenek Pernah Nasionalis


Nenek Pernah Nasionalis
Oleh: Rima Muryantina

Pada suatu hari di sebuah negeri, ditemukan seorang mayat wanita tua di sebuah kamar hotel. Wanita itu ditemukan memegang pistol di tangan kirinya dengan darah bercucuran dari kepalanya yang memang sudah tidak sekokoh kepala gadis-gadis muda yang dapat menengadah dengan tatapan tajam ketika berjalan karena mungkin kepala itu sudah terlalu lama digerogoti pikiran-pikiran yang terlalu banyak sepanjang eksistensinya di dunia ini. Bukan berarti itu adalah hal yang buruk, karena pada dasarnya kepala setiap manusia memang ditakdirkan untuk digerogoti oleh pikiran-pikirannya sendiri. Hanya saja, durasi penggerogotan ini mungkin sudah terlalu lama mengingat wanita ini sudah tidak muda lagi dan mengingat sejak muda pun ia telah menjadi wanita yang terlalu banyak berpikir.

Di tangan kanannya, polisi menemukan sepucuk surat tertulis di selembar kertas wangi berwarna ungu muda yang masih dapat tercium wanginya meskipun sudah bercampur dengan aroma darah yang bersimbah dari kepala sang wanita tua. Polisi menjadikan surat tersebut barang bukti dalam penyelidikan. Mereka berharap dengan membaca surat tersebut, mereka dapat memutuskan apakah kematian wanita tua tersebut benar-benar disebabkan oleh aksi bunuh diri atau mungkin sebenarnya telah terjadi pembunuhan. Berikut ini adalah isi surat tersebut:

Siapapun , tolong sampaikan pesan ini kepada anak-anak dan cucuku

Nenek pernah nasionalis.

Nenek lahir pada zamannya negeri ini sedang diperjuangkan kemerdekaannya. Oleh tangan ayah dan ibu Nenek sendiri. Jadi sejak sebelum ditiupkan roh ke dalam kandungan ibu Nenek pun, rasanya Nenek sudah nasionalis. Ayah Nenek yang mendoakan demikian. Beliau ingin Nenek nasionalis.
Sejak kecil Nenek selalu hormat setiap kali melihat bendera negara ini berkibar. Tidak peduli itu di sekolah, di puskesmas, di depan rumah pejabat yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Nenek, di tempat umum lainnya, di rumah Nenek sendiri, bahkan saat Nenek melihat upacara bendera di televisi. Teman-teman dan tetangga Nenek selalu menertawakan Nenek. Beberapa dari mereka menjuluki Nenek “nasionalis berlebihan.”
Nenek tidak peduli.

Suatu hari Nenek ditugaskan mengibarkan bendera di sekolah. Nenek tidak berhasil karena langkah Nenek tidak serempak dengan petugas yang lain dan benderanya tersangkut di tengah-tengah tiang hingga lagu kebangsaan harus dinyanyikan sekitar tiga kali. Seantero sekolah menertawakan Nenek. Orang tua Nenek bahkan bilang, “Dasar kamu tidak nasionalis!” Rasanya  sakit sekali saat itu. Mereka tidak tahu bahwa Nenek sudah berusaha semampu Nenek.

Lalu seperti yang kalian tahu, Nenek menjalani hidup Nenek dengan cukup baik. Nenek lulus sekolah dan lulus universitas dengan gelar terbaik dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang baik di masyarakat. Nenek senang karena akhirnya dapat berkontribusi terhadap masyarakat. Ya, sesekali memang ada konflik yang terjadi di negara ini. Nenek bahkan sadar penuh bahwa negara ini bukan negara yang sempurna. Nenek diperkenalkan dengan cara untuk mengelabui sesama manusia agar dapat bertahan dalam suatu institusi (mungkin suatu saat cucu-cucu Nenek akan mengerti). Kadang Nenek juga ikut melakukan hal-hal kejam yang waktu kecil Nenek benci. Tapi Nenek tidak peduli karena hal-hal kejam itu pun merupakan bagian dari proses yang Nenek harus lalui dalam berkontribusi terhadap negeri ini. Ya, sebesar itulah rasa cinta Nenek terhadap negeri ini. Maka dari itu, pahamilah kalau Nenek sekali-kali sering berteriak “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian ketika kalian malas ikut upacara bendera atau ketika kalian tidak mau menemani Nenek menyemangati atlet nasional dalam ajang olimpiade. Nenek hanya mengingatkan kalian akan pentingnya nasionalisme. Sama seperti yang dilakukan ayah Nenek dahulu.

Jadi begitulah Nenek hidup dengan nasionalisme Nenek selama bertahun-tahun. Bahkan saat negara ini ditempa beberapa cobaan, baik itu cobaan politis, bencana alam, krisis ekonomi, krisis sosial, konflik antar etnis di berbagai daerah, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Dengan bangganya Nenek mengulang frase “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian, para anak dan cucu, maupun pada generasi muda lain yang Nenek anggap tidak senasionalis Nenek.

Tapi entah kenapa dan entah sejak kapan, Nenek sudah lupa, mungkin juga karena sudah pikun. Yang Nenek tahu adalah beberapa tahun terakhir dalam hidup Nenek yang cukup panjang ini, Nenek merasa hampa dan tidak tahu lagi apa yang harus Nenek cintai dari negeri ini. Nenek pernah begitu bosan dan begitu pesimis menggonta-ganti saluran televisi dan mengomentari semua orang yang lebih muda dari Nenek yang berteriak-teriak tentang nasionalisme padahal Nenek tahu mereka melakukan hal-hal kejam atas nama nasionalisme. Sama seperti yang Nenek lakukan dulu, meskipun Nenek tidak terlalu ingat karena sudah pikun.  Jadi, seolah mengatai diri Nenek sendiri, Nenek menjerit, “Dasar generasi memalukan! Mau jadi apa bangsa ini?”

Lalu beberapa dari kalian, cucu Nenek, nampak tak senang dengan apa yang Nenek katakan. Lalu kalian mengatakan mantra yang dulu sering diucapkan oleh ayah Nenek dan oleh Nenek sendiri. “Dasar tidak nasionalis!” Lalu Nenek merasakan bahwa apa yang tumbuh dalam diri Nenek dahulu telah tumbuh juga di diri kalian. Dan Nenek tidak tahu harus merasa sedih atau bangga.

Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek semakin pikun dan semakin tidak sadar dengan apa yang Nenek lakukan. Bila suatu hari kalian menemukan Nenek melakukan hal-hal yang gila atau menyaksikan Nenek mengakhiri nyawa Nenek sendiri, tolong simpan pesan ini baik-baik. Nenek hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah nasionalis. Meskipun kalian, para anak dan para cucu, sering merasa nenek telah kehilangan itu semua.

Salam hangat
Nenek

                Setelah selesai membaca tulisan tersebut, inspektur yang bertanggung jawab atas investigasi kematian nenek itu pun langsung memutuskan dengan lantang, “Ini bunuh diri.” Ia berjalan melalui beberapa bawahannya yang selalu mengiringinya dan bersungut, “Dasar wanita gila.” Salah satu dari bawahannya memperhatikan kembali surat itu sejenak. Agak ragu untuk mengungkapkan  pendapatnya dan takut mendapat celaan “dasar gila” dari atasannya, si bawahan akhirnya berujar, “Mungkin ini pembunuhan.”
                Pimpinannya menoleh padanya sejenak. Mengernyitkan dahi dan memainkan alis. Menatapnya beberapa menit dengan tatapan yang cukup serius untuk membuat sang bawahan tertunduk. Tapi inspektur tak mengucapkan apa-apa. Meski ia tak terlalu pikun untuk mengingat kata “Dasar gila!” yang bisa saja ia ucapkan kapan saja.

Canberra, 22 Agustus 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

Short Story: Legenda Si Ayam Tertawa

Legenda Si Ayam Tertawa
Oleh: Rima Muryantina

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa yang sejahtera. Penduduknya cukup makmur karena apapun yang tumbuh dari tanah mereka dapat dijual dan uangnya dapat digunakan untuk memenuhi lebih dari sekedar kehidupan sehari-hari mereka. Para penduduk desa tetangga iri pada mereka karena mereka sangat beruntung. Orang-orang beruntung ini lebih dikenal dengan sebutan “Penduduk Negeri Ayam Jago.” Mengapa demikian? Sederhana saja. Di desa yang beruntung itu, ayam jago dianggap sebagai maskot keberuntungan. Setiap tahunnya para penduduk desa megadakan kompetisi sabung ayam jago untuk melestarikan tradisi leluhur mereka. Mereka menganggap tradisi ini membawa keberuntungan bagi desa mereka. Bagi mereka, selama mereka melanjutkan tradisi sabung ayam ini, “Desa Ayam Jago” akan selamanya makmur dan sejahtera.
Karena menjadi maskot kesejahteraan bagi desa tersebut, setiap ayam jago yang lahir di sana memiliki keistimewaan sendiri. Setidaknya, keistimewaan bagi keluarga ayam. Setiap keluarga ayam di desa tersebut akan sangat berbahagia apabila memiliki anak laki-laki. Tentu saja, mereka berharap suatu saat anak laki-laki mereka akan diadu dengan ayam jago lain untuk menjadi yang terkuat dan layak menjadi panutan dan junjungan seluruh warga desa. Ayam jago yang memenangkan kompetisi sabung ayam tahunan akan terpilih menjadi maskot keberuntungan yang dianggap membawa kesejahteraan bagi Desa Ayam Jago. Tidakkah prestasi tersebut sangat membanggakan? Keluarga mana, orang tua mana, yang tidak bangga melihat anak laki-lakinya dapat menjadi pahlwan bagi orang banyak?
Lantas bagaimana dengan yang kalah? Sesuai dengan keputusan para juri tiap tahunnya, ayam jago-ayam jago terbaik yang bertanding dalam kompetisi tahunan harus beradu sampai mati. Ada beberapa babak. Tapi semua ayam jago yang kalah, itu berarti dia telah mati di tangan ayam jago lain yang lebih kuat. Apakah ini menyedihkan? Tegakah sebuah keluarga atau sepasang orang tua mengorbankan nyawa anaknya hanya untuk      menjadi kebanggan dan pahlawan bagi orang banyak?
Jawabannya, ya. Tentu saja, kematian itu bukan apa-apa dibandingkan menjadi maskot yang membanggakan keluarga ayam sekaligus menyenangkan hati para penduduk Desa Ayam Jago. Seperti yang kita semua tahu, manusia menduduki strata tertinggi dalam kingdom animalia karena mereka berhak menamai makhluk-makhluk lain sesuai klasifikasi dan standar yang mereka tetapkan. Di Desa Ayam Jago ini ada sedikit perbedaan. Dalam acara tahunan sabung ayam ini, derajat ayam sebagai penghuni kingdom Animalia menjadi setingkat lebih tinggi dibandingkan manusia. Ini adalah momen berharga bagi para ayam. Mereka menjadi makhluk yang memegang alih kendali dan memperjuangkan kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, tidakkah pertandingan-pertandingan sabung ayam ini layak dibayar dengan darah? Tentu saja. Bahkan ayam-ayam yang kalah bertarung dalam kompetisi ini pun tidak mati sia-sia. Mereka adalah pahlawan bagi manusia dan tentu saja “lebih dari sekedar pahlawan” bagi para ayam. Ayam-ayam yang kalah itu tidak mati. Mereka hanya gugur. Sementara itu, pengorbanannya akan dikenang sebagai sesuatu yang mulia bagi setiap ayam yang ada di Desa Jago Ayam. Lantas apakah hal semulia itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang menyedihkan? Tentu tidak.
Lalu apakah semua ayam jantan yang sudah menginjak dewasa harus mengikuti kompetisi ini? Tidak. Hanya beberapa saja yang mendapat kehormatan untuk terpilih. Semua ayam jago yang terpilih untuk mengikuti kompetisi sabung ayam tahunan dinilai dari sebuah syarat yang sangat sederhana namun tidak mudah. Syarat itu adalah: para ayam jago yang terpilih haruslah para ayam jago yang rajin bangun pagi, lebih pagi daripada penduduk desa mana pun, dan berkokok membangunkan seisi desa. Hanya para perkokok-perkokok terbaiklah yang kelak diperbolehkan mengikuti kontes sabung ayam.
Sejak kecil, semua putra ayam di Desa Ayam Jago dilatih untuk bangun pagi dan berkokok dengan lantang untuk membangunkan para penduduk desa. Tentu saja, suara kokok mereka harus suara kokok yang bagus. Suara kokok yang dimaksud bagus di sini adalah suara kokok yang cukup lantang untuk membangunkan para penduduk desa, bahkan yang termalas sekalipun, tapi juga tidak merusak pendengaran para manusia, yang sebagian besar sebenarnya adalah pemalas, setidaknya di mata para ayam.
Di antara para ayam jago muda yang berlomba-lomba untuk menjadi pekokok terbaik agar kelak dapat bertarung dalam pertarungan suci yang membawa nama baik bangsa ayam di desa tersebut, konon ada seekor ayam jago muda yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya. Satria, nama ayam jago itu. Bukan, bukan orang tuanya yang menamakannya seperti itu. Para ayam  tidak perlu pusing memberi nama anak-anaknya. Mereka akan memanggil semua anak mereka dengan sebutan “sayang” tanpa harus kesulitan membedakan anak yang satu dengan anak yang lain. Pemilik peternakan tempat ia bernaunglah yang menamakannya seperti itu, dengan harapan bahwa Satria akan menjadi ayam jago bersuara paling lantang dan perkasa seantero Desa Ayam Jago sehingga dapat menjadi “ksatria” saat pertandingan sabung ayam tiba.
 Sayangnya, tidak sesuai dengan harapan, Satria tidak memenuhi kriteria sebagai ayam jago yang dapat membanggakan nama desanya. Satria selalu telat bangun. Bahkan lebih telat dari beberapa manusia yang ada di peternakan tersebut. Selain itu, suaranya juga tidak lantang. Sering kali ia mencoba berkokok, tapi hanya terdengar suara terputus-putus yang sama sekali tidak merdu. Bahkan suara Satria lebih terdengar seperti suara orang tertawa daripada seperti suara ayam jago yang gagah. Ia pun terlihat jauh lebih lemah daripada ayam jago lain di peternakannya. Apabila ia dipaksakan untuk diadu dalam sabung ayam, tentunya tak akan memerlukan waktu yang lama untuk menunggu kekalahannya.
Segala kelemahannya sebagai ayam jago inilah yang menyebabkan Satria jadi dikucilkan dan dicemooh di kalangan para ayam jago di desa. “Ayam jago cemen!” seru ayam jago terkuat di peternakannya. “Kamu tak pantas jadi ayam jago!” ejek ayam jago yang lain. “Kamu berkokok atau tertawa?” sindir salah satu ayam jago ketika Satria mulai mencoba berkokok.
Bukannya Satria tidak pernah mencoba untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Kenyataannya, setiap hari Satria selalu berlatih berkokok untuk memperbaiki suaranya. Ia bahkan  berusaha memilih-milih makanan terbaik yang dapat ia makan kalau-kalau itu mempengaruhi keadaan suaranya yang tidak seperti suara ayam jago pada umumnya. Akan tetapi berbagai usaha yang ia lakukan untuk memperindah suaranya tidak pernah berhasil. Bahkan ketika akhirnya Satria sudah berhasil bangun lebih pagi, ayam jago lain melarangnya berkokok karena suara kokokannya justru akan mengganggu keluarga pemilik peternakan.
Satria merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu terhadap orang tuanya yang tetap memanggilnya “sayang” sekalipun berulang kali ayam-ayam lain mengejeknya. Ia malu terhadap pemilik peternakan yang sudah memberinya nama spesial. Apabila pemilik peternakan tempat Satria bernaung ini sama dengan peternak-peternak pada umumnya, pastilah ia sudah memotong dan menggoreng ayam tidak berguna macam Satria untuk menjadikannya santapan yang lebih berguna daripada sekedar ayam yang tak dapat membangunkan majikannya dengan baik dan benar.
Tapi Satria adalah ayam yang beruntung. Pemilik peternakan ini melihat sesuatu yang berbeda dari sejak Satria menetas dari telur yang telah dieram induknya. Ia merasa Satria dapat membawa sesuatu yang baik bagi para ayam di peternakan itu dan bahkan bagi kesejahteraan Desa Ayam Jago. Mungkin ia sama saja dengan peternak lain, memang. Ia juga memotong ayam-ayam yang tidak layak dipertandingkan untuk sabung ayam. Tapi khusus kepada Satria, sang peternak ini memiliki rasa kasih sayang. Lebih dari kasih sayang antara peternak dan hewan ternaknya. Rasa kasih sayang itu sudah bagaikan rasa kasih sayang terhadap anaknya sendiri yang bercampur dengan harapan kelak Satrria akan jadi ayam yang sangat bermanfaat bagi desa mereka. Oleh karena itu, sekalipun Satria sering mengganggu seantero peternakan dengan suara kokoknya yang lebih mirip suara tawa, sang pemilik peternakan tetap merawatnya dan mengistimewakannya dibandingkan ayam-ayam lain. Sayangnya, hal inilah yang membuat Satria semakin dibenci dan dicemooh oleh ayam-ayam lain di peternakannya. Karena ia adalah seekor ayam tak berguna yang tak punya kelebihan apa-apa yang entah kenapa selalu diistimewakan.
*******
Oleh karena itulah Satria berusaha tegar melanjutkan hidup dan berlatih untuk memperbaiki kokokannya sambil menahan rasa malu dan sakit hati karena setiap hari diperolok oleh sesamanya. Ia terus menjalani kehidupan seperti itu sampai pada suatu hari saudara sepupu pemilik peternakan datang berkunjung. Ia memboyong keluarganya. Termasuk istri dan dua orang anaknya. Yang tertua laki-laki. Yang termuda perempuan. Kedua anak ini senang bermain-main memperhatikan sekeliling peternakan. Tapi saat terakhir kali mereka datang berkunjung ke peternakan tersebut, Satria masih terlelap di dalam telurnya. Oleh karena itu, ini adalah kali pertama Satria bertemu dengan kedua anak ini
Ketika ia ditemukan oleh kedua anak tersebut, Satria sedang melatih suaranya agar menjadi suara kokokan ayam yang bagus. Sayangnya yang terdengar malah suara yang terdengar seperti suara tawa yang tiak menyenangkan. Ketika kedua anak keponakan pemilik peternakan datang melintasi Satria yang sedang “tertawa” dengan suara kokokannya, Satria langsung merasa sangat malu dan berhenti berkokok.
“Kenapa berhenti? Ayo berkokok lagi,” ujar si anak laki-laki. Perkataan yang sangat tidak disangka-sangka oleh Satria.
“Suaranya lucu!” ujar si anak perempuan gemas yang dibenarkan oleh anggukan kepala kakak laki-lakinya. “Ayo, ayam! Berkokok lagi!”
Awalnya Satria agak ragu. Tapi melihat kedua anak tersebut sangat antusias menunggu suara kokokannya, akhirnya ia berkokok juga. Masih dengan suara ayam tertawa. Dan ketika anak-anak itu mendengarkan suara tawa Satria, mereka ikut tertawa bersamanya. Ketika Satria tertawa makin keras, anak-anak itu pun tertawa makin keras. Ini berbeda dengan tawa para ayam lain yang mengejek Satria setiap kali ayam malang itu mengeluarkan tawa bodohnya. Anak-anak itu tertawa bahagia dan bertepuk tangan setelah mendengar suara tawa Satria. Si anak laki-laki bahkan mengelus punggung Satria dan memanggilnya “ayam yang pintar.” Si anak perempuan berucap bahwa Satria adalah ayam terlucu yang pernah ia temui. Satria sangat senang melihatnya. Baru kali ini ia mendapat apresiasi atas kokokannya. Saat itu, hampir-hampir ia menangis karena terharu.
*******
            Pada saat makan malam, kedua anak tersebut menceritakan pada orang tuanya, dan juga pada keluarga pemilik peternakan bahwa mereka baru saja bertemu dengan seekor ayam terlucu dengan suara tawa yang menimbulkan perasaan bahagia di peternakan tersebut. Pemilik peternakan langsung tahu dari ciri yang diceritakan, bahwa ayam itu adalah Satria, ayam kesayangannya.
            “Kalian suka Satria? Tidak ada yang pernah suka dengan ayam itu sebelumnya kecuali aku,” tandas sang pemilik peternakan dengan wajah tertegun.
            “Ayam seperti itu sangat disukai di desa kami. Wajar anak-anak menyukainya,” ujar sepupu pemilik peternakan menjelaskan.
            “Bagaimana bisa ayam dengan suara terkekeh-kekeh seperti itu disukai di desa kalian? Aku pun tidak mengerti kenapa aku begitu menyayangi Satria,” sang pemilik peternakan terlihat semakin bingung.
            “Tentu saja bisa. Di desa kami bahkan ayam yang sanggup tertawa paling lama akan dianggap maskot kesejahteraan desa. Kami melakukan kontes ayam tertawa setiap tahun. Sama seperti desamu yang mengadakan kontes sabung ayam tiap tahunnya. Kontesnya akan diadakan dalam waktu dekat,” sang sepupu menjelaskan panjang lebar sambil menikmati makan malamnya.
            Mendengar hal tersebut, si pemilik peternakan langsung tertarik untuk mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa di desa seberang. Mengetahui rencana ini, Satria terkejut dan bahkan berusaha melatih tawanya lebih lama, yang membuat jengkel ayam-ayam lain di peternakan tersebut karena mereka menganggap suara Satria itu jelek dan memalukan dan tidak pantas untuk dibanggakan dan disuarakan terus-terusan. Hal ini menyebabkan Satria semakin dimusuhi oleh ayam-ayam lain di peternakan. Tapi Satria tidak terlalu peduli karena ibunya tetap mendukungnya seperti biasa, begitu pula dengan keluarga pemilik peternakan dan keluarga sepupu pemilik peternakan yang terlihat amat antusias mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa.
            Satu hal yang membuat Satria bimbang adalah keengganan ayahnya untuk langsung mendukung tindakan Satria kali ini. “Bukannya ayah tak bangga padamu. Tapi ayah akan jauh lebih bangga bila kamu dapat bertarung dan berkorban nyawa untuk desa ini. Itu jauh lebih mulia daripada tertawa untuk desa lain,” ujar sang ayah jujur kepada putranya, yang tidak pernah ia beda-bedakan dengan putranya yang lain karena bagi para hewan, sejelek apapun mereka, anak tetaplah anak.
            Satria, karena telah terbiasa menghadapi para ayam yang berseberangan dengannya sepanjang hidupnya, mewajari sudut pandang ayahnya kali ini. Tapi ia pun mengutarakan sudut pandangnya bahwa ia sudah tidak sanggup berusaha berkokok dengan cara yang berbeda dengan cara kokokannya. Ia sudah putus asa untuk berusaha keras menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan ia melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dengan menjadi dirinya sendiri. Ia tak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini sebelumnya. Dan atas alasan itulah, sang ayah dapat berkompromi dan mengizinkan putranya mengikuti kontes ayam tertawa.
            Akhirnya Satria pun mengikuti kontes ayam tertawa. Di kontes tersebut, ia bertemu dengan ayam-ayam yang jago tertawa, sama seperti dirinya. Tidak, mereka tidak memandang rendah ketika bertemu Satria. Mereka saling menyapa, mengajak Satria bercanda, dan berusaha membuat kondisi yang nyaman bagi semua ayam yang ada, termasuk Satria. Ketika Satria bertanya mengapa mereka begitu baik padanya, padahal baru saja mengenal, seekor ayam lain menjawab, “Kita akan tertawa lebih lama bila kita mengingat hal-hal yang membuat kita bahagia. Jadi kita harus selalu saling membuat bahagia agar dapat memberikan tawa terbaik di kontes ini.”
            Termotivasi dengan kebaikan hati para ayam lain, Satria pun tertawa sekeras mungkin. Dengan suara aslinya, tanpa berusaha menjadi orang lain. Ia tertawa begitu lama saking bahagianya. Ia tak pernah merasakan kebahagiaan begitu menari-nari dalam dirinya sebelumnya. Oleh karena itu, ia terus tertawa. Jauh lebih lama daripada tawa ayam-ayam lain. Saat ayam-ayam lain sudah menyerah, ia tetap tidak lelah tertawa karena rasa bahagia itu masih terus menari-nari dalam dirinya.
Satria terus tertawa hingga petang. Satu-satunya yang membuatnya berhenti tertawa hanyalah suara tepuk tangan para penduduk desa yang sangat bangga melihat kegigihannya dan suara sorak sorai ayam-ayam lain yang sudah kalah tapi terus mendukung Satria. Sorak sorai itu begitu meriah dan ramai sampai-sampai Satria tertegun tak percaya. Dari kejauhan, ia melihat majikannya, sang pemilik peternakan dari Desa Ayam Jago, menitikkan air mata bahagia dengan wajah penuh keyakinan dan bangga pada ayam kesayangannya.
*******
            Satria telah menang. Ia membawa pulang pita penghargaan yang dikalungkan ke lehernya. Ia menjadi pahlawan di desa seberang meskipun ia tidak berasal dari sana. Sesampainya di peternakan tempat asalnya, ia disambut dengan berbagai reaksi. Kedua orang tuanya, tetap bangga padanya, seperti biasa. Ayam-ayam lain, ada yang berbalik mendukungnya. Ada yang penasaran seperti apa kontes ayam tertawa. Para ayam yang bersuara tidak terlalu bagus seperti dirinya terinspirasi untuk turut berusaha mengikuti kontes ayam tertawa. Ada yang diam-diam sebenarnya selalu mendukung Satria dan baru berani menunjukkan dukungannya ketika keadaan menjadi lebih baik. Ada pula yang justru berniat untuk pindah ke desa lain saja karena sebenarnya takut untuk bertarung pada saat kontes sabung ayam. Dan di antara semua itu, jumlah yang paling banyak tentunya ayam-ayam yang masih membenci Satria, atau justru semakin membenci Satria karena menganggapnya merendahkan derajat para ayam dengan membuat seolah-olah terkekeh-kekeh itu lebih baik daripada berkorban nyawa.
            Satria menerima semua perbedaan tersebut tanpa merasa yang dilakukannya lebih tinggi daripada yang dilakukan ayam-ayam lain. Dan pertandingan sabung ayam tetap dilaksanakan karena masih banyak yang menghargai nilai-nilai bersejarah dari pertandingan tersebut. Tapi Satria tidak kecewa. Karena pada akhirnya ia memiliki kesempatan untuk dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa harus berusaha terlalu keras untuk menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan sejak saat itulah, Satria menjadi salah satu legenda di antara para ayam di desanya. Meski mungkin bukan legenda yang paling disukai semua ayam.

Canberra, 7 Agustus 2011