Minggu, 21 Agustus 2011

Short Story: Nenek Pernah Nasionalis


Nenek Pernah Nasionalis
Oleh: Rima Muryantina

Pada suatu hari di sebuah negeri, ditemukan seorang mayat wanita tua di sebuah kamar hotel. Wanita itu ditemukan memegang pistol di tangan kirinya dengan darah bercucuran dari kepalanya yang memang sudah tidak sekokoh kepala gadis-gadis muda yang dapat menengadah dengan tatapan tajam ketika berjalan karena mungkin kepala itu sudah terlalu lama digerogoti pikiran-pikiran yang terlalu banyak sepanjang eksistensinya di dunia ini. Bukan berarti itu adalah hal yang buruk, karena pada dasarnya kepala setiap manusia memang ditakdirkan untuk digerogoti oleh pikiran-pikirannya sendiri. Hanya saja, durasi penggerogotan ini mungkin sudah terlalu lama mengingat wanita ini sudah tidak muda lagi dan mengingat sejak muda pun ia telah menjadi wanita yang terlalu banyak berpikir.

Di tangan kanannya, polisi menemukan sepucuk surat tertulis di selembar kertas wangi berwarna ungu muda yang masih dapat tercium wanginya meskipun sudah bercampur dengan aroma darah yang bersimbah dari kepala sang wanita tua. Polisi menjadikan surat tersebut barang bukti dalam penyelidikan. Mereka berharap dengan membaca surat tersebut, mereka dapat memutuskan apakah kematian wanita tua tersebut benar-benar disebabkan oleh aksi bunuh diri atau mungkin sebenarnya telah terjadi pembunuhan. Berikut ini adalah isi surat tersebut:

Siapapun , tolong sampaikan pesan ini kepada anak-anak dan cucuku

Nenek pernah nasionalis.

Nenek lahir pada zamannya negeri ini sedang diperjuangkan kemerdekaannya. Oleh tangan ayah dan ibu Nenek sendiri. Jadi sejak sebelum ditiupkan roh ke dalam kandungan ibu Nenek pun, rasanya Nenek sudah nasionalis. Ayah Nenek yang mendoakan demikian. Beliau ingin Nenek nasionalis.
Sejak kecil Nenek selalu hormat setiap kali melihat bendera negara ini berkibar. Tidak peduli itu di sekolah, di puskesmas, di depan rumah pejabat yang terletak tidak terlalu jauh dari rumah Nenek, di tempat umum lainnya, di rumah Nenek sendiri, bahkan saat Nenek melihat upacara bendera di televisi. Teman-teman dan tetangga Nenek selalu menertawakan Nenek. Beberapa dari mereka menjuluki Nenek “nasionalis berlebihan.”
Nenek tidak peduli.

Suatu hari Nenek ditugaskan mengibarkan bendera di sekolah. Nenek tidak berhasil karena langkah Nenek tidak serempak dengan petugas yang lain dan benderanya tersangkut di tengah-tengah tiang hingga lagu kebangsaan harus dinyanyikan sekitar tiga kali. Seantero sekolah menertawakan Nenek. Orang tua Nenek bahkan bilang, “Dasar kamu tidak nasionalis!” Rasanya  sakit sekali saat itu. Mereka tidak tahu bahwa Nenek sudah berusaha semampu Nenek.

Lalu seperti yang kalian tahu, Nenek menjalani hidup Nenek dengan cukup baik. Nenek lulus sekolah dan lulus universitas dengan gelar terbaik dan bahkan mendapatkan pekerjaan yang baik di masyarakat. Nenek senang karena akhirnya dapat berkontribusi terhadap masyarakat. Ya, sesekali memang ada konflik yang terjadi di negara ini. Nenek bahkan sadar penuh bahwa negara ini bukan negara yang sempurna. Nenek diperkenalkan dengan cara untuk mengelabui sesama manusia agar dapat bertahan dalam suatu institusi (mungkin suatu saat cucu-cucu Nenek akan mengerti). Kadang Nenek juga ikut melakukan hal-hal kejam yang waktu kecil Nenek benci. Tapi Nenek tidak peduli karena hal-hal kejam itu pun merupakan bagian dari proses yang Nenek harus lalui dalam berkontribusi terhadap negeri ini. Ya, sebesar itulah rasa cinta Nenek terhadap negeri ini. Maka dari itu, pahamilah kalau Nenek sekali-kali sering berteriak “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian ketika kalian malas ikut upacara bendera atau ketika kalian tidak mau menemani Nenek menyemangati atlet nasional dalam ajang olimpiade. Nenek hanya mengingatkan kalian akan pentingnya nasionalisme. Sama seperti yang dilakukan ayah Nenek dahulu.

Jadi begitulah Nenek hidup dengan nasionalisme Nenek selama bertahun-tahun. Bahkan saat negara ini ditempa beberapa cobaan, baik itu cobaan politis, bencana alam, krisis ekonomi, krisis sosial, konflik antar etnis di berbagai daerah, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya. Dengan bangganya Nenek mengulang frase “Dasar tidak nasionalis!” pada kalian, para anak dan cucu, maupun pada generasi muda lain yang Nenek anggap tidak senasionalis Nenek.

Tapi entah kenapa dan entah sejak kapan, Nenek sudah lupa, mungkin juga karena sudah pikun. Yang Nenek tahu adalah beberapa tahun terakhir dalam hidup Nenek yang cukup panjang ini, Nenek merasa hampa dan tidak tahu lagi apa yang harus Nenek cintai dari negeri ini. Nenek pernah begitu bosan dan begitu pesimis menggonta-ganti saluran televisi dan mengomentari semua orang yang lebih muda dari Nenek yang berteriak-teriak tentang nasionalisme padahal Nenek tahu mereka melakukan hal-hal kejam atas nama nasionalisme. Sama seperti yang Nenek lakukan dulu, meskipun Nenek tidak terlalu ingat karena sudah pikun.  Jadi, seolah mengatai diri Nenek sendiri, Nenek menjerit, “Dasar generasi memalukan! Mau jadi apa bangsa ini?”

Lalu beberapa dari kalian, cucu Nenek, nampak tak senang dengan apa yang Nenek katakan. Lalu kalian mengatakan mantra yang dulu sering diucapkan oleh ayah Nenek dan oleh Nenek sendiri. “Dasar tidak nasionalis!” Lalu Nenek merasakan bahwa apa yang tumbuh dalam diri Nenek dahulu telah tumbuh juga di diri kalian. Dan Nenek tidak tahu harus merasa sedih atau bangga.

Seiring dengan berjalannya waktu, Nenek semakin pikun dan semakin tidak sadar dengan apa yang Nenek lakukan. Bila suatu hari kalian menemukan Nenek melakukan hal-hal yang gila atau menyaksikan Nenek mengakhiri nyawa Nenek sendiri, tolong simpan pesan ini baik-baik. Nenek hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah nasionalis. Meskipun kalian, para anak dan para cucu, sering merasa nenek telah kehilangan itu semua.

Salam hangat
Nenek

                Setelah selesai membaca tulisan tersebut, inspektur yang bertanggung jawab atas investigasi kematian nenek itu pun langsung memutuskan dengan lantang, “Ini bunuh diri.” Ia berjalan melalui beberapa bawahannya yang selalu mengiringinya dan bersungut, “Dasar wanita gila.” Salah satu dari bawahannya memperhatikan kembali surat itu sejenak. Agak ragu untuk mengungkapkan  pendapatnya dan takut mendapat celaan “dasar gila” dari atasannya, si bawahan akhirnya berujar, “Mungkin ini pembunuhan.”
                Pimpinannya menoleh padanya sejenak. Mengernyitkan dahi dan memainkan alis. Menatapnya beberapa menit dengan tatapan yang cukup serius untuk membuat sang bawahan tertunduk. Tapi inspektur tak mengucapkan apa-apa. Meski ia tak terlalu pikun untuk mengingat kata “Dasar gila!” yang bisa saja ia ucapkan kapan saja.

Canberra, 22 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar