Sabtu, 06 Agustus 2011

Short Story: Legenda Si Ayam Tertawa

Legenda Si Ayam Tertawa
Oleh: Rima Muryantina

Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa yang sejahtera. Penduduknya cukup makmur karena apapun yang tumbuh dari tanah mereka dapat dijual dan uangnya dapat digunakan untuk memenuhi lebih dari sekedar kehidupan sehari-hari mereka. Para penduduk desa tetangga iri pada mereka karena mereka sangat beruntung. Orang-orang beruntung ini lebih dikenal dengan sebutan “Penduduk Negeri Ayam Jago.” Mengapa demikian? Sederhana saja. Di desa yang beruntung itu, ayam jago dianggap sebagai maskot keberuntungan. Setiap tahunnya para penduduk desa megadakan kompetisi sabung ayam jago untuk melestarikan tradisi leluhur mereka. Mereka menganggap tradisi ini membawa keberuntungan bagi desa mereka. Bagi mereka, selama mereka melanjutkan tradisi sabung ayam ini, “Desa Ayam Jago” akan selamanya makmur dan sejahtera.
Karena menjadi maskot kesejahteraan bagi desa tersebut, setiap ayam jago yang lahir di sana memiliki keistimewaan sendiri. Setidaknya, keistimewaan bagi keluarga ayam. Setiap keluarga ayam di desa tersebut akan sangat berbahagia apabila memiliki anak laki-laki. Tentu saja, mereka berharap suatu saat anak laki-laki mereka akan diadu dengan ayam jago lain untuk menjadi yang terkuat dan layak menjadi panutan dan junjungan seluruh warga desa. Ayam jago yang memenangkan kompetisi sabung ayam tahunan akan terpilih menjadi maskot keberuntungan yang dianggap membawa kesejahteraan bagi Desa Ayam Jago. Tidakkah prestasi tersebut sangat membanggakan? Keluarga mana, orang tua mana, yang tidak bangga melihat anak laki-lakinya dapat menjadi pahlwan bagi orang banyak?
Lantas bagaimana dengan yang kalah? Sesuai dengan keputusan para juri tiap tahunnya, ayam jago-ayam jago terbaik yang bertanding dalam kompetisi tahunan harus beradu sampai mati. Ada beberapa babak. Tapi semua ayam jago yang kalah, itu berarti dia telah mati di tangan ayam jago lain yang lebih kuat. Apakah ini menyedihkan? Tegakah sebuah keluarga atau sepasang orang tua mengorbankan nyawa anaknya hanya untuk      menjadi kebanggan dan pahlawan bagi orang banyak?
Jawabannya, ya. Tentu saja, kematian itu bukan apa-apa dibandingkan menjadi maskot yang membanggakan keluarga ayam sekaligus menyenangkan hati para penduduk Desa Ayam Jago. Seperti yang kita semua tahu, manusia menduduki strata tertinggi dalam kingdom animalia karena mereka berhak menamai makhluk-makhluk lain sesuai klasifikasi dan standar yang mereka tetapkan. Di Desa Ayam Jago ini ada sedikit perbedaan. Dalam acara tahunan sabung ayam ini, derajat ayam sebagai penghuni kingdom Animalia menjadi setingkat lebih tinggi dibandingkan manusia. Ini adalah momen berharga bagi para ayam. Mereka menjadi makhluk yang memegang alih kendali dan memperjuangkan kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, tidakkah pertandingan-pertandingan sabung ayam ini layak dibayar dengan darah? Tentu saja. Bahkan ayam-ayam yang kalah bertarung dalam kompetisi ini pun tidak mati sia-sia. Mereka adalah pahlawan bagi manusia dan tentu saja “lebih dari sekedar pahlawan” bagi para ayam. Ayam-ayam yang kalah itu tidak mati. Mereka hanya gugur. Sementara itu, pengorbanannya akan dikenang sebagai sesuatu yang mulia bagi setiap ayam yang ada di Desa Jago Ayam. Lantas apakah hal semulia itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang menyedihkan? Tentu tidak.
Lalu apakah semua ayam jantan yang sudah menginjak dewasa harus mengikuti kompetisi ini? Tidak. Hanya beberapa saja yang mendapat kehormatan untuk terpilih. Semua ayam jago yang terpilih untuk mengikuti kompetisi sabung ayam tahunan dinilai dari sebuah syarat yang sangat sederhana namun tidak mudah. Syarat itu adalah: para ayam jago yang terpilih haruslah para ayam jago yang rajin bangun pagi, lebih pagi daripada penduduk desa mana pun, dan berkokok membangunkan seisi desa. Hanya para perkokok-perkokok terbaiklah yang kelak diperbolehkan mengikuti kontes sabung ayam.
Sejak kecil, semua putra ayam di Desa Ayam Jago dilatih untuk bangun pagi dan berkokok dengan lantang untuk membangunkan para penduduk desa. Tentu saja, suara kokok mereka harus suara kokok yang bagus. Suara kokok yang dimaksud bagus di sini adalah suara kokok yang cukup lantang untuk membangunkan para penduduk desa, bahkan yang termalas sekalipun, tapi juga tidak merusak pendengaran para manusia, yang sebagian besar sebenarnya adalah pemalas, setidaknya di mata para ayam.
Di antara para ayam jago muda yang berlomba-lomba untuk menjadi pekokok terbaik agar kelak dapat bertarung dalam pertarungan suci yang membawa nama baik bangsa ayam di desa tersebut, konon ada seekor ayam jago muda yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya. Satria, nama ayam jago itu. Bukan, bukan orang tuanya yang menamakannya seperti itu. Para ayam  tidak perlu pusing memberi nama anak-anaknya. Mereka akan memanggil semua anak mereka dengan sebutan “sayang” tanpa harus kesulitan membedakan anak yang satu dengan anak yang lain. Pemilik peternakan tempat ia bernaunglah yang menamakannya seperti itu, dengan harapan bahwa Satria akan menjadi ayam jago bersuara paling lantang dan perkasa seantero Desa Ayam Jago sehingga dapat menjadi “ksatria” saat pertandingan sabung ayam tiba.
 Sayangnya, tidak sesuai dengan harapan, Satria tidak memenuhi kriteria sebagai ayam jago yang dapat membanggakan nama desanya. Satria selalu telat bangun. Bahkan lebih telat dari beberapa manusia yang ada di peternakan tersebut. Selain itu, suaranya juga tidak lantang. Sering kali ia mencoba berkokok, tapi hanya terdengar suara terputus-putus yang sama sekali tidak merdu. Bahkan suara Satria lebih terdengar seperti suara orang tertawa daripada seperti suara ayam jago yang gagah. Ia pun terlihat jauh lebih lemah daripada ayam jago lain di peternakannya. Apabila ia dipaksakan untuk diadu dalam sabung ayam, tentunya tak akan memerlukan waktu yang lama untuk menunggu kekalahannya.
Segala kelemahannya sebagai ayam jago inilah yang menyebabkan Satria jadi dikucilkan dan dicemooh di kalangan para ayam jago di desa. “Ayam jago cemen!” seru ayam jago terkuat di peternakannya. “Kamu tak pantas jadi ayam jago!” ejek ayam jago yang lain. “Kamu berkokok atau tertawa?” sindir salah satu ayam jago ketika Satria mulai mencoba berkokok.
Bukannya Satria tidak pernah mencoba untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Kenyataannya, setiap hari Satria selalu berlatih berkokok untuk memperbaiki suaranya. Ia bahkan  berusaha memilih-milih makanan terbaik yang dapat ia makan kalau-kalau itu mempengaruhi keadaan suaranya yang tidak seperti suara ayam jago pada umumnya. Akan tetapi berbagai usaha yang ia lakukan untuk memperindah suaranya tidak pernah berhasil. Bahkan ketika akhirnya Satria sudah berhasil bangun lebih pagi, ayam jago lain melarangnya berkokok karena suara kokokannya justru akan mengganggu keluarga pemilik peternakan.
Satria merasa malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu terhadap orang tuanya yang tetap memanggilnya “sayang” sekalipun berulang kali ayam-ayam lain mengejeknya. Ia malu terhadap pemilik peternakan yang sudah memberinya nama spesial. Apabila pemilik peternakan tempat Satria bernaung ini sama dengan peternak-peternak pada umumnya, pastilah ia sudah memotong dan menggoreng ayam tidak berguna macam Satria untuk menjadikannya santapan yang lebih berguna daripada sekedar ayam yang tak dapat membangunkan majikannya dengan baik dan benar.
Tapi Satria adalah ayam yang beruntung. Pemilik peternakan ini melihat sesuatu yang berbeda dari sejak Satria menetas dari telur yang telah dieram induknya. Ia merasa Satria dapat membawa sesuatu yang baik bagi para ayam di peternakan itu dan bahkan bagi kesejahteraan Desa Ayam Jago. Mungkin ia sama saja dengan peternak lain, memang. Ia juga memotong ayam-ayam yang tidak layak dipertandingkan untuk sabung ayam. Tapi khusus kepada Satria, sang peternak ini memiliki rasa kasih sayang. Lebih dari kasih sayang antara peternak dan hewan ternaknya. Rasa kasih sayang itu sudah bagaikan rasa kasih sayang terhadap anaknya sendiri yang bercampur dengan harapan kelak Satrria akan jadi ayam yang sangat bermanfaat bagi desa mereka. Oleh karena itu, sekalipun Satria sering mengganggu seantero peternakan dengan suara kokoknya yang lebih mirip suara tawa, sang pemilik peternakan tetap merawatnya dan mengistimewakannya dibandingkan ayam-ayam lain. Sayangnya, hal inilah yang membuat Satria semakin dibenci dan dicemooh oleh ayam-ayam lain di peternakannya. Karena ia adalah seekor ayam tak berguna yang tak punya kelebihan apa-apa yang entah kenapa selalu diistimewakan.
*******
Oleh karena itulah Satria berusaha tegar melanjutkan hidup dan berlatih untuk memperbaiki kokokannya sambil menahan rasa malu dan sakit hati karena setiap hari diperolok oleh sesamanya. Ia terus menjalani kehidupan seperti itu sampai pada suatu hari saudara sepupu pemilik peternakan datang berkunjung. Ia memboyong keluarganya. Termasuk istri dan dua orang anaknya. Yang tertua laki-laki. Yang termuda perempuan. Kedua anak ini senang bermain-main memperhatikan sekeliling peternakan. Tapi saat terakhir kali mereka datang berkunjung ke peternakan tersebut, Satria masih terlelap di dalam telurnya. Oleh karena itu, ini adalah kali pertama Satria bertemu dengan kedua anak ini
Ketika ia ditemukan oleh kedua anak tersebut, Satria sedang melatih suaranya agar menjadi suara kokokan ayam yang bagus. Sayangnya yang terdengar malah suara yang terdengar seperti suara tawa yang tiak menyenangkan. Ketika kedua anak keponakan pemilik peternakan datang melintasi Satria yang sedang “tertawa” dengan suara kokokannya, Satria langsung merasa sangat malu dan berhenti berkokok.
“Kenapa berhenti? Ayo berkokok lagi,” ujar si anak laki-laki. Perkataan yang sangat tidak disangka-sangka oleh Satria.
“Suaranya lucu!” ujar si anak perempuan gemas yang dibenarkan oleh anggukan kepala kakak laki-lakinya. “Ayo, ayam! Berkokok lagi!”
Awalnya Satria agak ragu. Tapi melihat kedua anak tersebut sangat antusias menunggu suara kokokannya, akhirnya ia berkokok juga. Masih dengan suara ayam tertawa. Dan ketika anak-anak itu mendengarkan suara tawa Satria, mereka ikut tertawa bersamanya. Ketika Satria tertawa makin keras, anak-anak itu pun tertawa makin keras. Ini berbeda dengan tawa para ayam lain yang mengejek Satria setiap kali ayam malang itu mengeluarkan tawa bodohnya. Anak-anak itu tertawa bahagia dan bertepuk tangan setelah mendengar suara tawa Satria. Si anak laki-laki bahkan mengelus punggung Satria dan memanggilnya “ayam yang pintar.” Si anak perempuan berucap bahwa Satria adalah ayam terlucu yang pernah ia temui. Satria sangat senang melihatnya. Baru kali ini ia mendapat apresiasi atas kokokannya. Saat itu, hampir-hampir ia menangis karena terharu.
*******
            Pada saat makan malam, kedua anak tersebut menceritakan pada orang tuanya, dan juga pada keluarga pemilik peternakan bahwa mereka baru saja bertemu dengan seekor ayam terlucu dengan suara tawa yang menimbulkan perasaan bahagia di peternakan tersebut. Pemilik peternakan langsung tahu dari ciri yang diceritakan, bahwa ayam itu adalah Satria, ayam kesayangannya.
            “Kalian suka Satria? Tidak ada yang pernah suka dengan ayam itu sebelumnya kecuali aku,” tandas sang pemilik peternakan dengan wajah tertegun.
            “Ayam seperti itu sangat disukai di desa kami. Wajar anak-anak menyukainya,” ujar sepupu pemilik peternakan menjelaskan.
            “Bagaimana bisa ayam dengan suara terkekeh-kekeh seperti itu disukai di desa kalian? Aku pun tidak mengerti kenapa aku begitu menyayangi Satria,” sang pemilik peternakan terlihat semakin bingung.
            “Tentu saja bisa. Di desa kami bahkan ayam yang sanggup tertawa paling lama akan dianggap maskot kesejahteraan desa. Kami melakukan kontes ayam tertawa setiap tahun. Sama seperti desamu yang mengadakan kontes sabung ayam tiap tahunnya. Kontesnya akan diadakan dalam waktu dekat,” sang sepupu menjelaskan panjang lebar sambil menikmati makan malamnya.
            Mendengar hal tersebut, si pemilik peternakan langsung tertarik untuk mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa di desa seberang. Mengetahui rencana ini, Satria terkejut dan bahkan berusaha melatih tawanya lebih lama, yang membuat jengkel ayam-ayam lain di peternakan tersebut karena mereka menganggap suara Satria itu jelek dan memalukan dan tidak pantas untuk dibanggakan dan disuarakan terus-terusan. Hal ini menyebabkan Satria semakin dimusuhi oleh ayam-ayam lain di peternakan. Tapi Satria tidak terlalu peduli karena ibunya tetap mendukungnya seperti biasa, begitu pula dengan keluarga pemilik peternakan dan keluarga sepupu pemilik peternakan yang terlihat amat antusias mengikutsertakan Satria dalam kontes ayam tertawa.
            Satu hal yang membuat Satria bimbang adalah keengganan ayahnya untuk langsung mendukung tindakan Satria kali ini. “Bukannya ayah tak bangga padamu. Tapi ayah akan jauh lebih bangga bila kamu dapat bertarung dan berkorban nyawa untuk desa ini. Itu jauh lebih mulia daripada tertawa untuk desa lain,” ujar sang ayah jujur kepada putranya, yang tidak pernah ia beda-bedakan dengan putranya yang lain karena bagi para hewan, sejelek apapun mereka, anak tetaplah anak.
            Satria, karena telah terbiasa menghadapi para ayam yang berseberangan dengannya sepanjang hidupnya, mewajari sudut pandang ayahnya kali ini. Tapi ia pun mengutarakan sudut pandangnya bahwa ia sudah tidak sanggup berusaha berkokok dengan cara yang berbeda dengan cara kokokannya. Ia sudah putus asa untuk berusaha keras menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan ia melihat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat dengan menjadi dirinya sendiri. Ia tak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini sebelumnya. Dan atas alasan itulah, sang ayah dapat berkompromi dan mengizinkan putranya mengikuti kontes ayam tertawa.
            Akhirnya Satria pun mengikuti kontes ayam tertawa. Di kontes tersebut, ia bertemu dengan ayam-ayam yang jago tertawa, sama seperti dirinya. Tidak, mereka tidak memandang rendah ketika bertemu Satria. Mereka saling menyapa, mengajak Satria bercanda, dan berusaha membuat kondisi yang nyaman bagi semua ayam yang ada, termasuk Satria. Ketika Satria bertanya mengapa mereka begitu baik padanya, padahal baru saja mengenal, seekor ayam lain menjawab, “Kita akan tertawa lebih lama bila kita mengingat hal-hal yang membuat kita bahagia. Jadi kita harus selalu saling membuat bahagia agar dapat memberikan tawa terbaik di kontes ini.”
            Termotivasi dengan kebaikan hati para ayam lain, Satria pun tertawa sekeras mungkin. Dengan suara aslinya, tanpa berusaha menjadi orang lain. Ia tertawa begitu lama saking bahagianya. Ia tak pernah merasakan kebahagiaan begitu menari-nari dalam dirinya sebelumnya. Oleh karena itu, ia terus tertawa. Jauh lebih lama daripada tawa ayam-ayam lain. Saat ayam-ayam lain sudah menyerah, ia tetap tidak lelah tertawa karena rasa bahagia itu masih terus menari-nari dalam dirinya.
Satria terus tertawa hingga petang. Satu-satunya yang membuatnya berhenti tertawa hanyalah suara tepuk tangan para penduduk desa yang sangat bangga melihat kegigihannya dan suara sorak sorai ayam-ayam lain yang sudah kalah tapi terus mendukung Satria. Sorak sorai itu begitu meriah dan ramai sampai-sampai Satria tertegun tak percaya. Dari kejauhan, ia melihat majikannya, sang pemilik peternakan dari Desa Ayam Jago, menitikkan air mata bahagia dengan wajah penuh keyakinan dan bangga pada ayam kesayangannya.
*******
            Satria telah menang. Ia membawa pulang pita penghargaan yang dikalungkan ke lehernya. Ia menjadi pahlawan di desa seberang meskipun ia tidak berasal dari sana. Sesampainya di peternakan tempat asalnya, ia disambut dengan berbagai reaksi. Kedua orang tuanya, tetap bangga padanya, seperti biasa. Ayam-ayam lain, ada yang berbalik mendukungnya. Ada yang penasaran seperti apa kontes ayam tertawa. Para ayam yang bersuara tidak terlalu bagus seperti dirinya terinspirasi untuk turut berusaha mengikuti kontes ayam tertawa. Ada yang diam-diam sebenarnya selalu mendukung Satria dan baru berani menunjukkan dukungannya ketika keadaan menjadi lebih baik. Ada pula yang justru berniat untuk pindah ke desa lain saja karena sebenarnya takut untuk bertarung pada saat kontes sabung ayam. Dan di antara semua itu, jumlah yang paling banyak tentunya ayam-ayam yang masih membenci Satria, atau justru semakin membenci Satria karena menganggapnya merendahkan derajat para ayam dengan membuat seolah-olah terkekeh-kekeh itu lebih baik daripada berkorban nyawa.
            Satria menerima semua perbedaan tersebut tanpa merasa yang dilakukannya lebih tinggi daripada yang dilakukan ayam-ayam lain. Dan pertandingan sabung ayam tetap dilaksanakan karena masih banyak yang menghargai nilai-nilai bersejarah dari pertandingan tersebut. Tapi Satria tidak kecewa. Karena pada akhirnya ia memiliki kesempatan untuk dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa harus berusaha terlalu keras untuk menjadi sama seperti ayam-ayam lain. Dan sejak saat itulah, Satria menjadi salah satu legenda di antara para ayam di desanya. Meski mungkin bukan legenda yang paling disukai semua ayam.

Canberra, 7 Agustus 2011

2 komentar:

  1. apa ini ada hubungannya dgn thread di kaskus tadi? T_____________T

    BalasHapus
  2. ya ada. tp sebenarnya ini sudah kubikin dari jauh2 hari. hahaha. btw, ada yg salah ketik nggak?

    BalasHapus